thanks for visiting,come back soon for more:)

Selasa, 18 Juni 2013

Gadis Berjilbab Pilihan

Cantik nian akhlak gadis berjilbab, mengajar anak di gubuk yang tua
Daerah gubuk tempat si miskin, baca dan tulis huruf Al-Qur’an
Berbagi kasih pada putra harapan…
Diterik mentari si gadis cantik berbagi kasih
Kerja tanpa pamrih dengan hati bersih
Dan ikhlaas hati…

Sepenggal lagu lawas dari grup musik qosidah Nasidaria, mengingatkanku pada sahabat karibku. Jilbab yang pernah diberikannya, masih aku simpan dengan baik, dan sering aku kenakan. Lama aku tak berjumpa dengannya. Aku rindu akan kebersamaan dengannya, canda tawa yang menghiasi kebersamaan kami, susah senang kami hadapi dengan hati yang lapang. Tapi, kini ia telah pergi jauh. Aku sangat merindukannya. ’Obi, dimana persahabatan kita yang dulu?’ tanyaku dalam hati.

Aku beranjak dari tempat tidurku, dan berdiri mendekati almari bajuku. Aku mengambil jilbab yang pernah Obi berikan padaku. Aku dekap dalam pelukanku, sebagaimana aku melepaskan rinduku pada Obi. “Obi, kau adalah sahabatku yang terbaik. Apa yang kau berikan padaku begitu berharga. Aku tak sanggup untuk menandingi kebaikanmu. Pulanglah Obi, aku menunggumu” kata Nayla, yang masih mendekap jilbab itu dalam pelukannya. Kenangan Nayla dengan Obi beberapa tahun lalupun hinggap dalam pikirannya. Nayla masih ingat saat Obi memberikan jilbab itu.

***

Usai pulang sekolah aku berpisah dengan Obi di perempatan jalan. Sebenarnya, namanya, bukan Obi. Melainkan Riana Febrina. Aku lebih senang memanggilnya dengan sebutan Obi. Dia sendiri juga tidak keberatan. “Nay, aku ke rumah bu Ana dulu ya..” kata Obi sebelum kami berpisah. “Bi, kenapa kamu tidak pulang dulu? Kamu kan capek, baru pulang sekolah.” Kataku pada Obi. “Nay, anak-anak TPA di tempatnya bu Ana sudah menunggu. Aku kemarin sudah dapat uang dari bu Ana. Aku memintanya terlebih dahulu untuk membayar buku.” Obi menjelaskan. “Baiklah, kamu hati-hati ya..!” kata Nayla. “Iya Nay, makasih ya, makan siangnya tadi. Aku jadi ngerepotin kamu.” Kata Obi. “Sudahlah Bi, kan kamu juga yang sering bantu aku belajar. Les privat, gratis lagi.” kata Nayla dengan senyum manjanya, hingga lesung pipinya semakin dalam laksana pusaran air.

Di perempatan itulah, aku sering berpisah dengan Obi. Aku langsung pulang, tapi Obi terus melangkahkan kakinya untuk menunaikan tugas mulia. Ia ikut mengajar anak-anak mengaji di rumah bu Ana. Beliau adalah salah satu guru di SMK kami. Dan beliau juga yang menawari Obi untuk mengajar anak-anak mengaji, beserta guru mengaji yang lain.

Kali ini, aku ikut dengan Obi ke rumah bu Ana. Aku ingin melihat seperti apa cara Obi mengajar anak-anak. Aku sering mendengar komentar bahwa cara Obi mengajar sangatlah menyenangkan. Terkadang, saat aku pergi ke perpustakaan umum daerah, aku sering melihat murid Obi yang begitu akrab dengannya. Mereka sangat senang dengan Obi. Aku sengaja ikut dengan Obi, karena aku ingin mengamati kegiatan Obi. Aku merekomendasikan ia sebagai murid teladan. Aku pernah membaca dari sebuah majah islam. Aku ingin menuliskan kegiatan Obi, yang nantinya akan aku kirimkan ke majalah itu. Tapi, aku tidak mengatakannya kepada Obi. Meskipun ia tadi sempat curiga, karena tidak seperti biasanya. Aku begitu ngotot untuk ikut. Wajahku masih kusam dengan paikaian seragam lengkap. Begitu juga dengan Obi.Tapi, bekas air wudhu sholat dzuhur masuh terasa segar di wajah kami.

“Sekarang, kita nyanyi dulu ya, sebelum pulang. Satu, dua, tiga” Obi memandu anak-anak menyanyi. Kamudian anak-anak secara serentak mulai menyanyi. “Tuhanku hanya satu. Tiada bersekutu. Dia tidak berputra, tidak pula berbapa. Siapa bilang tiga, hai… Itu musyrik namanya. Orang seperti dia nerakalah tempatnya. (lagu balonku ada lima)” anak-anak menyanyi dengan antusias. Aku hanya tersenyum mendengar nyanyian itu. Karena, aku tahu persis lagu itu. Itu lagu yang pernah aku dan Obi dapatkan saat diklat di kantor desa. Saat itu ada mahasiswa dari IAIN sunan ampel Surabaya yang sedang melaksanakan KKN di desa kami. Kemudian mereka mengadakan diklat, memberikan pengajaran tentang pendidikan agama, pelajaran mengenai tajwid, nyanyian, qiroah, dan lain-lain.

“Nay, kamu melamun apa?” suara Obi memgagetkanku, dan menyadarkanku dari lamunan. “Aa,” aku tergagap dan kaget, karena Obi ada di sampingku. “Kamu kenapa Nay?” tanya obi tersenyum melihat mukaku yang aneh. “Aku ingat dulu Bi, saat kita diklat di desa. Waktu ada KKN dari IAIN sunan ampel Surabaya. Lagu itu mengingatkanku Bi.” kataku menjelaskannya pada Obi. Obipun tersenyum mendengar ceritaku. “Oleh karena itu, apa yang sudah kita dapatkan saat diklat itu aku amalkan Nay. Apa yang sudah diajarkan oleh kakak-kakak mahasiswa dari IAIN sunan ampel Surabaya sangat bermanfaat.” kata Obi. “Iya ya Bi,” jawabku dengan menganggukkan kepala.

“Kamu ingatkan, dulu kamu susah belajar tajwid. Masih ingat lagu potong bebek angsa kan?” Obi tersenyum menggoda, dia ingin mengetes ingatanku. “Ok..” jawabku dengan tersenyum. “Macam-macam idghom itu ada dua. Idghom bilagunnah dan idghom bigunnah. Idghom bugunnah ya’ nun mim wawu. Idghom bilagunnah lam ra’ hurufnya. Idghom bigunnah ya’ nun mim wawu. Idghom bilagunnah lam ra’ hurufnya…” aku dan Obi tersenyum bersama, usai menyanyikan lagu itu bersama-sama.

***

“Obi, Obi…” Aku berlari usai memarkir sepeda di depan pagar rumah bu Ana. Obipun tergejut denganku yang berlari terengah-engah dengan majalah di tangan kananku. “Obi, hah..hah..hh..” aku berusaha menarik nafas dalam-dalam, nafasku masih tersengal-sengal juga. Tapi, aku harus menyampaikan kabar gembira ini. “Kamu menang lomba di majalah Bi..!” kataku sangat gembira, aku langsung memeluk Obi. “Nay, aku menang apa? Aku tidak pernah ikut acara di majalah Nay..” Obi sangat kebingungan, ia tidak mengerti dengan sikapku.

“Aku menulis artikel tentang kamu Nay, aku merekomendasikan kamu sebagai murid teladan. Semua kegiatanmu mulai dari memimpin organisasi osis di sekolah, mengajar mengaji, dan membantu teman-teman belajar. Pokoknya aku ceritakan semua Bi. Dan kamu menang Bi. Kamu dapat juara pertama.” Aku sangat antusias menceritakannya. “Apa itu benar Nay?” Obi masih tidak percaya. “Benar Bi, kamu jadi gadis berjilbab pilihan. Kamu baca saja di majalah ini. Kemudian, Obi membacanya. Raut wajah Obi sangat terkejut, ada perasaan senang yang merona di wajahnya. Iapun langsung memelukmu. “Makasih Nay..” kata Obi sambil memelukku.

***

“Nay, ini untuk kamu.” Obi memberikan sesuatu yang dibalut kertas berwarna coklat. “Obi, inikan hadiah dari majalah itu. Kenapa kamu berikan padaku?” tanyaku. “Nay, aku ingin kamu memakainya.” Obi memberikan bungkusan itu padaku. “Ini apa Bi?” tanyaku. “Bukalah..!” pinta Obi. “Jilbab?” kataku saat mengetahui isi dari hadiah itu. “Iya, aku ingin kamu memakainya Nay. Tapi, aku ingin juga, niat itu benar-benar ada dalam hatimu Nay. Aku tidak ingin kamu memakainya karena aku sahabatmu. Karena kamu tidak enak menolaknya. Aku ingin niat itu datang dari hatimu Nay. “Obi menjelaskannya padaku. Aku hanya terdiam, merenung. Sesekali melihat raut wajah Obi, dan melihat jilbab yang sekarang ada di gengamanku. Aku berusaha menata hati, untuk menata niat yang tulus.

Dengan sigap aku memakainya. Sebuah jilbab berwarna salem. Aku sangat menyukainya. “Sepertinya, gadis berjilbab pilihan itu adalah kamu Nay. Kamu menjadi orang pilihan karena, kamu adalah gadis yang Allah pilih agar berjilbab. “Kata Obi sangat menyentuh hatiku. Aku lantas memeluknya.

***

“Nay, lagunya jangan keras-keras..!” teriak ibuku dari luar kamarku. Aku langsung terbangun dari lamunanku. “Iya bu..” Jawabku. Aku sudah melamun lama tentang Obi dan aku dulu. “Bi, lagu dari Nasidaria ini mengingatkanku padamu. Obi, aku sangat rindu denganmu. Semoga kuliahmu di semarang berjalan dengan lancar. “Kataku yang ingat dengan Obi, sahabat karibku.



cr: firmanway.com/

Tidak ada komentar:

To Top Page Up Page Down To Bottom Auto Scroll Stop Scroll