Cantik nian akhlak gadis berjilbab, mengajar anak di gubuk yang tua
Daerah gubuk tempat si miskin, baca dan tulis huruf Al-Qur’an
Berbagi kasih pada putra harapan…
Diterik mentari si gadis cantik berbagi kasih
Kerja tanpa pamrih dengan hati bersih
Dan ikhlaas hati…
Sepenggal
lagu lawas dari grup musik qosidah Nasidaria, mengingatkanku pada
sahabat karibku. Jilbab yang pernah diberikannya, masih aku simpan
dengan baik, dan sering aku kenakan. Lama aku tak berjumpa dengannya.
Aku rindu akan kebersamaan dengannya, canda tawa yang menghiasi
kebersamaan kami, susah senang kami hadapi dengan hati yang lapang.
Tapi, kini ia telah pergi jauh. Aku sangat merindukannya. ’Obi, dimana
persahabatan kita yang dulu?’ tanyaku dalam hati.
Aku beranjak
dari tempat tidurku, dan berdiri mendekati almari bajuku. Aku mengambil
jilbab yang pernah Obi berikan padaku. Aku dekap dalam pelukanku,
sebagaimana aku melepaskan rinduku pada Obi. “Obi, kau adalah sahabatku
yang terbaik. Apa yang kau berikan padaku begitu berharga. Aku tak
sanggup untuk menandingi kebaikanmu. Pulanglah Obi, aku menunggumu” kata
Nayla, yang masih mendekap jilbab itu dalam pelukannya. Kenangan Nayla
dengan Obi beberapa tahun lalupun hinggap dalam pikirannya. Nayla masih
ingat saat Obi memberikan jilbab itu.
***
Usai pulang
sekolah aku berpisah dengan Obi di perempatan jalan. Sebenarnya,
namanya, bukan Obi. Melainkan Riana Febrina. Aku lebih senang
memanggilnya dengan sebutan Obi. Dia sendiri juga tidak keberatan. “Nay,
aku ke rumah bu Ana dulu ya..” kata Obi sebelum kami berpisah. “Bi,
kenapa kamu tidak pulang dulu? Kamu kan capek, baru pulang sekolah.”
Kataku pada Obi. “Nay, anak-anak TPA di tempatnya bu Ana sudah menunggu.
Aku kemarin sudah dapat uang dari bu Ana. Aku memintanya terlebih
dahulu untuk membayar buku.” Obi menjelaskan. “Baiklah, kamu hati-hati
ya..!” kata Nayla. “Iya Nay, makasih ya, makan siangnya tadi. Aku jadi
ngerepotin kamu.” Kata Obi. “Sudahlah Bi, kan kamu juga yang sering
bantu aku belajar. Les privat, gratis lagi.” kata Nayla dengan senyum
manjanya, hingga lesung pipinya semakin dalam laksana pusaran air.
Di
perempatan itulah, aku sering berpisah dengan Obi. Aku langsung pulang,
tapi Obi terus melangkahkan kakinya untuk menunaikan tugas mulia. Ia
ikut mengajar anak-anak mengaji di rumah bu Ana. Beliau adalah salah
satu guru di SMK kami. Dan beliau juga yang menawari Obi untuk mengajar
anak-anak mengaji, beserta guru mengaji yang lain.
Kali ini, aku
ikut dengan Obi ke rumah bu Ana. Aku ingin melihat seperti apa cara Obi
mengajar anak-anak. Aku sering mendengar komentar bahwa cara Obi
mengajar sangatlah menyenangkan. Terkadang, saat aku pergi ke
perpustakaan umum daerah, aku sering melihat murid Obi yang begitu akrab
dengannya. Mereka sangat senang dengan Obi. Aku sengaja ikut dengan
Obi, karena aku ingin mengamati kegiatan Obi. Aku merekomendasikan ia
sebagai murid teladan. Aku pernah membaca dari sebuah majah islam. Aku
ingin menuliskan kegiatan Obi, yang nantinya akan aku kirimkan ke
majalah itu. Tapi, aku tidak mengatakannya kepada Obi. Meskipun ia tadi
sempat curiga, karena tidak seperti biasanya. Aku begitu ngotot untuk
ikut. Wajahku masih kusam dengan paikaian seragam lengkap. Begitu juga
dengan Obi.Tapi, bekas air wudhu sholat dzuhur masuh terasa segar di
wajah kami.
“Sekarang, kita nyanyi dulu ya, sebelum pulang. Satu,
dua, tiga” Obi memandu anak-anak menyanyi. Kamudian anak-anak secara
serentak mulai menyanyi. “Tuhanku hanya satu. Tiada bersekutu. Dia tidak
berputra, tidak pula berbapa. Siapa bilang tiga, hai… Itu musyrik
namanya. Orang seperti dia nerakalah tempatnya. (lagu balonku ada lima)”
anak-anak menyanyi dengan antusias. Aku hanya tersenyum mendengar
nyanyian itu. Karena, aku tahu persis lagu itu. Itu lagu yang pernah aku
dan Obi dapatkan saat diklat di kantor desa. Saat itu ada mahasiswa
dari IAIN sunan ampel Surabaya yang sedang melaksanakan KKN di desa
kami. Kemudian mereka mengadakan diklat, memberikan pengajaran tentang
pendidikan agama, pelajaran mengenai tajwid, nyanyian, qiroah, dan
lain-lain.
“Nay, kamu melamun apa?” suara Obi memgagetkanku, dan
menyadarkanku dari lamunan. “Aa,” aku tergagap dan kaget, karena Obi ada
di sampingku. “Kamu kenapa Nay?” tanya obi tersenyum melihat mukaku
yang aneh. “Aku ingat dulu Bi, saat kita diklat di desa. Waktu ada KKN
dari IAIN sunan ampel Surabaya. Lagu itu mengingatkanku Bi.” kataku
menjelaskannya pada Obi. Obipun tersenyum mendengar ceritaku. “Oleh
karena itu, apa yang sudah kita dapatkan saat diklat itu aku amalkan
Nay. Apa yang sudah diajarkan oleh kakak-kakak mahasiswa dari IAIN sunan
ampel Surabaya sangat bermanfaat.” kata Obi. “Iya ya Bi,” jawabku
dengan menganggukkan kepala.
“Kamu ingatkan, dulu kamu susah
belajar tajwid. Masih ingat lagu potong bebek angsa kan?” Obi tersenyum
menggoda, dia ingin mengetes ingatanku. “Ok..” jawabku dengan tersenyum.
“Macam-macam idghom itu ada dua. Idghom bilagunnah dan idghom bigunnah.
Idghom bugunnah ya’ nun mim wawu. Idghom bilagunnah lam ra’ hurufnya.
Idghom bigunnah ya’ nun mim wawu. Idghom bilagunnah lam ra’ hurufnya…”
aku dan Obi tersenyum bersama, usai menyanyikan lagu itu bersama-sama.
***
“Obi,
Obi…” Aku berlari usai memarkir sepeda di depan pagar rumah bu Ana.
Obipun tergejut denganku yang berlari terengah-engah dengan majalah di
tangan kananku. “Obi, hah..hah..hh..” aku berusaha menarik nafas
dalam-dalam, nafasku masih tersengal-sengal juga. Tapi, aku harus
menyampaikan kabar gembira ini. “Kamu menang lomba di majalah Bi..!”
kataku sangat gembira, aku langsung memeluk Obi. “Nay, aku menang apa?
Aku tidak pernah ikut acara di majalah Nay..” Obi sangat kebingungan, ia
tidak mengerti dengan sikapku.
“Aku menulis artikel tentang kamu
Nay, aku merekomendasikan kamu sebagai murid teladan. Semua kegiatanmu
mulai dari memimpin organisasi osis di sekolah, mengajar mengaji, dan
membantu teman-teman belajar. Pokoknya aku ceritakan semua Bi. Dan kamu
menang Bi. Kamu dapat juara pertama.” Aku sangat antusias
menceritakannya. “Apa itu benar Nay?” Obi masih tidak percaya. “Benar
Bi, kamu jadi gadis berjilbab pilihan. Kamu baca saja di majalah ini.
Kemudian, Obi membacanya. Raut wajah Obi sangat terkejut, ada perasaan
senang yang merona di wajahnya. Iapun langsung memelukmu. “Makasih
Nay..” kata Obi sambil memelukku.
***
“Nay, ini untuk
kamu.” Obi memberikan sesuatu yang dibalut kertas berwarna coklat. “Obi,
inikan hadiah dari majalah itu. Kenapa kamu berikan padaku?” tanyaku.
“Nay, aku ingin kamu memakainya.” Obi memberikan bungkusan itu padaku.
“Ini apa Bi?” tanyaku. “Bukalah..!” pinta Obi. “Jilbab?” kataku saat
mengetahui isi dari hadiah itu. “Iya, aku ingin kamu memakainya Nay.
Tapi, aku ingin juga, niat itu benar-benar ada dalam hatimu Nay. Aku
tidak ingin kamu memakainya karena aku sahabatmu. Karena kamu tidak enak
menolaknya. Aku ingin niat itu datang dari hatimu Nay. “Obi
menjelaskannya padaku. Aku hanya terdiam, merenung. Sesekali melihat
raut wajah Obi, dan melihat jilbab yang sekarang ada di gengamanku. Aku
berusaha menata hati, untuk menata niat yang tulus.
Dengan sigap
aku memakainya. Sebuah jilbab berwarna salem. Aku sangat menyukainya.
“Sepertinya, gadis berjilbab pilihan itu adalah kamu Nay. Kamu menjadi
orang pilihan karena, kamu adalah gadis yang Allah pilih agar berjilbab.
“Kata Obi sangat menyentuh hatiku. Aku lantas memeluknya.
***
“Nay,
lagunya jangan keras-keras..!” teriak ibuku dari luar kamarku. Aku
langsung terbangun dari lamunanku. “Iya bu..” Jawabku. Aku sudah melamun
lama tentang Obi dan aku dulu. “Bi, lagu dari Nasidaria ini
mengingatkanku padamu. Obi, aku sangat rindu denganmu. Semoga kuliahmu
di semarang berjalan dengan lancar. “Kataku yang ingat dengan Obi,
sahabat karibku.
cr: firmanway.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar