thanks for visiting,come back soon for more:)

Rabu, 19 Juni 2013

Mereka Yang Menenggak Senja

1) Dermaga tua itu masih sepi seperti sedia kala. Hanya seorang laki-laki yang duduk di ujung, memandang matahari yang hendak terbenam dengan tatapan lelah. Ia lapar, dan gumpalan bola jingga berpijar lemah itu terlihat menggiurkan untuk batin yang merengek kesepian. Turun panggung


dengan tersendat-sendat, namun tetap memaksa anggun. Parameter bagi kadar asa yang kian menipis dan sekarat.
Perempuan itu belum datang. Atau tidak akan, mungkin.
Semesta terlalu kejam. Takdir mengalahkan simpati yang telah berbulan-bulan menggunung: hasil manifestasi adalah obsesi. Namun mengapa oh mengapa, penguasa ruang dan waktu sakti nan iseng, perempuan itu belum datang juga senja ini?
Nafas berhembus mantap. Diam-diam sebuah hati tersayat kemenyerahan. Tak percaya takdir, katanya.
Toh katanya tujuan hidup hanyalah cakap-cakap manusia yang takut kehilangan nyawanya. Dan ketika kebenaran konsepsi tujuan itu memang nonsens, mereka yang percaya pelak kehilangan nurani. Dilema moral hanyalah cakap-cakap lain yang kontradiktif. Surga dan neraka semoga hanyalah cakap-cakap juga. Bentangan gelap tak berujung adalah imaji yang larut menjadi opsi nyata; semu sudah kabur, menjelma realita.
Jilat ludahmu sendiri.
“Cinta-pada-pandangan-pertama” boleh terdengar seperti frasa pada buku panduan cara menghindari patah hati bagi perempuan yang tengah akil balig. Makanlah aib. Gravitasi takluk pada wajahnya. Tatapanya lebih bening dari air danau dari kayangan manapun. Dan senyumnya telah melelehkan jiwa-jiwa malang. Toh tetap disebut hiperbola. Nafsu memang menjadi komoditi utama. Menjadi barang komplementer pun cinta tak sanggup. Harga diri lelaki bahkan tak rela kalah dari kata picisan.
Apakah benar ada sesuatu semunafik cinta? Dan bukan nafsu pada pandangan pertama?
Pukul enam. Cahaya mulai tertarik ke bawah cakrawala.
Laki-laki itu berjalan naik turun dermaga dengan gerakan yang terukur dan cepat. Rok*k yang terselip di jari-jarinya tak sanggup menafikan fakta bahwa ia begitu pemalu. Tarik. Hembuskan. Tarik. Hembuskan. Hingga hari penghakiman. Ah, memangnya siapa dia untuk berharap keberpihakan semesta. Ia bisa saja meninggalkan dermaga ini sewaktu-waktu, menggulung lara yang setia di daur ulang. Ia bahkan tidak tahu nama, umur, dan asal sang perempuan. Hanya rutinitas yang selalu ia ulangi tiap hari, jikalau sore tak bermega: Berdiri di ujung dermaga menjelang jatuhnya sang raja siang. Hanya berdiri. Memandang senja dengan tatapan menantang. Mengusik segala kenormalan dalam kungkungan rutinitas si lelaki, yang hanya akan memandang heran melihat si perempuan yang asing, mematung di ujung dermaga.
Ia tak berharap akan bertukar kata dengan si perempuan sekalipun. Ia hanya ingin melihat sosoknya dari dekat. Bukan dari perahu kecil yang ia gunakan untuk berlabuh menangkap ikan tiap senja. Ia hanya penasaran, batinya. Apa pula itu cinta? Bapaknya sudah mati. Terbakar kobaran api dalam tragedi ledakan kapal tanker. Emaknya pun menyusul enam bulan lalu. Fahmi dan Ayong juga sudah menjadi penghuni Nirwana. Ia sebatang kara, meski ia masih memiliki samudera, ikan, dan insting – untuk bertahan hidup di dekapan laut Cina Selatan yang ganas ini. Mungkin instinglah yang membawaku ke dermaga ini, batinya. Mungkin. Semoga.
Pukul enam lewat lima belas. Surya turun panggung. Bendera putih berkobar. Si laki-laki naik ke atas perahu kecilnya, dan mulai mendayung menuju kegelapan dan pekatnya malam. Ia sudah biasa pulang dengan tangan hampa. Kapal kecil itu serupa batinya: Kasar, lapuk, namun masih tangguh melawan prahara paling mengamuk sekalipun.
Ia hanya butuh sebuah senja yang cerah lagi esok hari.
2) Mungkin aku lebih baik mati saja. Toh sudah tak ada sorot di mataku. Luka ini sudah tidak bisa lagi menutup. Aku rindu mendekapnya erat dan aku ingin melakukanya melebihi apapun, meski aku harus merasa sesak sesaat di tautan itu. Toh tak sebanding dengan derita yang ia rasakan menjelang ajal. Terbakar. Sungguh pedih. Namun Soleh, bagaimana dengan Soleh? Ia masih belia! Ia belum siap menghadapi malam-malam berbadai dan puting beliung yang tak mengampun. Kalau tidak bapaknya yang telah tiada, siapa lagilah yang harus menjaganya selain aku?
Maka tak apalah aku menahan sakit sedikit lebih lama. Mengasini ikan dengan bisu saat siang. Sembab saat malam tiba. Dinginya belati rindu yang menusuk hingga ke tulang. Rindu yang tidak lagi dipisahkan jarak saat ia masih bekerja dulu. Rindu yang dipisahkan nyawa.
Perih. Sepi. Dingin.
Bulan menjadi saksi bisu azab. Elegi-elegi dalam bentuk rintihan tak kuasa di tahan. Air mata serupa butiran mutiara dan air terjun.
Aku masih mengingat ketika ia meminangku dulu, sebuah malam yang dingin dan tenang seperti malam ini. Hangatnya. Peluknya yang memabukkan. Serupa candu yang tak cukup di kenang. Adisi.
Aku menenggak delapan butir kebebasan. Buatlah aku tidur lelap. Terjun bebas.
Aku melihat wajah suamiku. Aku dalam dekapanya kembali. Kami tersenyum hingga bibir kami melebihi wajah kami dan bercahaya, lebih terang dari semburat mentari. Tak ada lagi yang bisa memisahkan kami; maut pun sudah kami langkahi dan injak-injak. Hanya aku, dia, dan Soleh…
Soleh?
“Soleeeeeeeh!!!”
3) Emak meninggal tadi malam. Pak RT datang saat shubuh, mengucapkan belasungkawa dan mengurusi upacara pemakaman. Ibu Muti, wali kelasku, datang saat matahari sudah naik, membawa setoples uang saweran. Bukti solidaritas, katanya. Aku mendapat izin sekolah dua minggu. Untuk apa. Aku tak hendak bersekolah lagi. Aku lebih nyaman di lautan. Menjala ikan. Hidup megikuti arus dan angin laut hingga mabuk kebebasan.
Toh, tujuan hidup hanya cakap-cakap manusia yang takut kehilangan nyawanya. Emak sudah bahagia dengan bapak. Tujuan hidup emak adalah bapak. Saat bapak meninggal, tujuan hidup emak adalah kembali bersama bapak. Emak hanya mengejar tujuan hidup tersebut. Namun emak berbeda. Ia tak takut pada kematian lagi.
Kini aku harus meneruskan asa. Tanpa tujuan hidup pun tak masalah.Yang penting tak menjadi pecundang, kata bapak.
Ibu Muti sempat berkata akan menanggung biaya pendidikan. Ia seorang janda seperti emak. Suaminya juga meninggal dalam kebakaran tanker yang sama dengan bapak. Terlalu baik. Mungkin juga ia di bujuk Fahmi. Ah, Fahmi. Denganya, perempuan bagai ikan-ikan yang tergoda umpan di ujung kail, di tarik dan menggelepar di luar air. Kami sudah laksana saudara semenjak kecil. Satu satunya hal yang tak bisaaku fahami adalah izin meminjam perahu kecilku setiap kali ia membawa perempuan cantik yang ia temui entah di mana. Cuma sekedar kenalan, katanya.
Sorenya, Ayong datang ke rumah dengan Tiger, membawa sebungkus rok*k impor. Obat pelipur lara, katanya. Ayong. Hendriyanto Yong. Ayahnya pengusaha resor pantai besar. Mungkin orangtuanya orang paling kaya di kota. Setiap kali usai liburan, ia akan mengcinderamatai foto dari entah negeri mana.
“Yang ini pas aku di London, lhoo. Yang ini, Sydney. Yang ini, New York. Keren-keren laah.”
Aku manggut manggut tanda tak faham. Dan tak ingin faham.
Kami bertemu di sekolah dasar. Ia sudah besar kepala dari orok. Setiap hari datang ke sekolah dengan mainan baru dan enggan meminjamkanya ke anak lain. Sombong amat. Aku lempari kepalanya dengan bola tenis. Bocor. Emak di panggil ke sekolah. Anak pekerja kapal tanker membuat bocor kepala anak pemilik resor. Syukur keluarganya tidak meminta ganti rugi. Aku mendapat cambuk rotan dari bapak malam harinya.
Meski uang sakunya lebih banyak dari penghasilan bapak, ia tak punya teman di sekolah. Lalu Fahmi, dengan jenaka mendekati dan menjadikanya kawan. Tidaklah sulit mengambil hati seorang yang tengah terluka. Jadilah kami bertiga: Soleh-Fahmi-Ayong. Tiga sekawan yang menggemparkan dunia. Setelah bapak meninggal dan ibu memutuskan untuk menjadi bisu, mereka berdua menjadi tujuan hidupku. Dermaga tua menjadi sorga untuk meluapkan keresahan dan masalah hidup dalam ironi tawa. Fahmi yang jatuh cinta lagi untuk yang kesekian ribu kalinya. Ayong yang di paksa ayahnya meneruskan usaha, padahal ia menyimpan asa menjadi pembalap. Dan aku yang bosan dengan segala kejenuhan abadi semesta: Rumah yang senyap meski berpenghuni dan seorang emak yang tak urung bersuara.
Dermaga tua itu adalah sorga bagi kami. Tempat untuk menjadi gila tanpa ada satu makhluk bumi pun yang mencela. Namun apalah artinya sorga tanpa mereka-mereka yang berarti bagimu. Mereka yang setia memabukkan siang dan menyuntikkan cahaya baskara ke dalam nadimu saat malam tiba.
Apa artinya sorga jikalau kau sebatang kara?
Pada sebuah malam yang senyap, Ayong muncul di depan rumah. Nafasnya memburu. Ada gemuruh di matanya. Ombak pasang yang menggulung. Gunung yang meletus. Ada pisau yang menancap dalam di setiap nafas yang ia ambil.
“Fahmi hilang dari rumahnya. Kabur.”
Astaga.
4) Perempuan disampingku masih tertidur pulas meski ombak murka. Penuh angkara. Seakan semesta pun hendak mengiyakan asumsi masyarakat bahwa kami nista. Hina. Baiklah, barangkali mabuk asmara sampai kapanpun tak dapat menjadi argumen. Namun realita terlewat pahit. Emak akan terisak malu. Seorang anak guru membuat gempar. Kawin lari. Soleh dan Ayong mungkin sedang resah. Namun apa daya. Semua orang punya tujuan hidup. Dan inilah tujuan hidupku: Lelap dalam damai temporer, disampingku.
Ia membawa kehidupan. Sebuah denyut lain dalam tubuhnya. Matahari yang menunggu waktunya terbit.
Perahu kecil Soleh menjadi saksi bisu gairah dan bara api yang menyala penasaran. Bujang yang terlalu tergesa-gesa. Akal sehat kabur. Nurani menguap entah kemana. Letusan cinta bagai kembang api tahun baru: Meledak-ledak.
Kapal ini akan membawa kami ke ibukota. Penyegaran untuk jiwa-jiwa yang hengkang dari realita. Aku masih punya seratus ribu. Cukup untuk makan seminggu. Atau mungkin tidak? Apa aku harus mencari kerja? Berdoa sajalah. Karena dimana ada cinta dan kasih disitulah ada Tuhan, bukan?
Ponselku bergetar. Ayong. Mungkin dia sudah tahu aku minggat.
“Kau ada dimana?”
“Di kapal, mau ke Jakarta.”
“Kenapa kau lari lah? Ibu kau nangis-nangis di rumah! Nanya kau ada dimana sama aku! Minta dicariin! Bapak kau sudah tak ada! Masa kau mau biarkan ibu kau sendiri? Buruan balik! Aku ama Soleh tunggu kau di dermaga.”
Panggilan terputus. Sinyal hilang. Ada halilintar yang menusuk jauh ke dalam ulu hati. Menampar keras.
Lalu terdengar suara letusan dari gudang kapal. KR Pencari Damai karam. Lima puluh tujuh penumpang hilang. Ada nama Nurfahmi Choirul dalam daftar itu.
5) Mereka belum menemukan Fahmi. Aku hanya bisa berdoa di kelenteng tiap pagi. Aku dengar dari Soleh kalau ibu Fahmi tidak mengajar lagi. Terdengar lolongan dari rumahnya saat malam. Parau sekali. Kemudian ada sanak saudara dari Bukit Tinggi yang datang menjemput. Rumahnya sudah kosong selama 2 minggu.
Kota ini padahal indah. Pecinan di dekat pasar dipenuhi semburat warna warni dalam arsitektur kuno: Jeruk, hio, barang elektronik, kembang api, es cendol, barongsai, dan kelenteng kecil yang menarik. Di tepi laut, kerap ada pertunjukan tradisional Melayu: tari-tarian semarak, nyanyian yang mendayu-dayu, ditemani angin laut dan hawa tropis. Kota kecil ini menggemaskan. Seratus sembilan puluh ribu wajah yang tak akan membuatmu bosan. Kudapan yang menggugah selera, tergambar pada brosur-brosur promosi. Kota ini riang gembira tanpa berpesta pora.
Namun mengapa hati kami tengah terbenam? Maut datang tanpa sambutan hangat. Satu-satu di ambil. Apakah aku giliran selanjutnya?
Papa semakin sakit. Ia masih bergumam tentang investasi, warisan, dan kompetisi bahkan ketika tidur. Katanya waktunya sudah dekat. Aku harus bersiap-siap. Menjadi ahli waris. Penerus. Harapan keluarga. Kebanggaan.
Aku sayang sekali dengan papa. Namun aku tak peduli semua itu. Tujuan hidupku sedang kunaiki dan kubawa lari sekencang-kencangnya. Membelah angin. Menjadi yang terdepan. Ini kompetisiku. Intrik dunia bisnis rasanya kurang cocok. Salahkah seorang bodoh di kota kecil yang bahkan tidak ada di atlas, mempunyai mimpai menjadi seorang pembalap? Jawab.
Aku melaju kencang. Melarikan diri dari realita. Menuju tikungan tajam itu. Eksekusi yang sempurna!
Lalu ban depan meletus, menyeret semua warna dari wajahku.
BRAK!
6) Lelaki itu masih tertegun bisu di dermaga tua itu. Bertanya-tanya, kemanakah jiwa mereka semua pergi. Apakah ada kehidupan selanjutnya. Apakah cinta dapat mengalahkan maut. Semua orang yang ia cintai telah tiada. Sebatang kara adalah konsepsi paling pilu dan dingin di semesta. Hidup tanpa rasa hangat yang membuncah di dada. Kemana perginya nurani? Apakah sudah terbawa oleh mereka-mereka yang menelan senja lebih dulu?
Toh cinta tidak terbatas pada dimensi eros pada sepasang sejoli. Mereka-mereka yang engkau doakan tiap malam, yang membuatmu terpukul ketika mereka tidak dapat hadir di saat engkau hendak hancur, bukankah mereka orang yang engkau cintai?
Ini batang rok*k yang ke dua belas. Cahaya mulai pudar perlahan di horison. Seakan berlari, mengejar bola jingga yang tengah menyelesaikan kalimat penutupnya. Pukul lima tiga puluh. Perempuan itu menginjakkan kakinya di depan dermaga. Ia membawa sebuah guci.
Si lelaki melihat perempuan itu dari jarak yang lebih dekat daripada sebelumnya. Dan mata kayangan itu ternyata jauh lebih bening. Seakan didalamnya ada sebuah telaga dari air mata bidadari. Sungguh jernih. Namun ada kesedihan yang tak bisa ia tutupi. Sebuah luka yang belum kering. Duka yang serupa dengan emak, dengan dirinya sekarang: Rindu yang dipisahkan nyawa.
Perempuan itu tahu dia sedang diperhatikan. Ia balas memperhatikan si lelaki. Kemudian mereka terjebak dalam sebuah tatapan mata yang aneh. Tatapan yang membuat malas untuk berdiam diri.
“Ha… Halo.”
“Hai.”
Si lelaki mengulurkan tanganya yang tengah bergetar hebat.
“Soleh.”
“Aling.”
“Ka… Kamu sering main kesini ya. Tiap sore.”
“Iya. Aku suka tempat ini. Dulu koko aku sering ngajak aku main kesini.”
“Ooh…”
”Dan aku senang, hari ini kita bisa main bersama lagi kesini.”
Perempuan itu tersenyum tulus. Soleh heran. Ia tak melihat adanya laki-laki lain.
“Mana kakakmu?”
Perempuan itu hanya melirik guci yang tengah ia bawa.
“Jadi kakakmu ada di dalam gu.. Eh, maaf, maksud saya, eh… Ma… maaf.”
Perempuan itu tetap tersenyum. Ia berkata:
“Tidak apa-apa. Kakak saya orangnya sabar, kecuali kalau lagi naik motor. Ia meninggal dalam kecelakaan motor bulan lalu. Ia berkata, tempat ini sangat istimewa untuknya. Tempat ia selalu bercengkrama bersama dua teman baiknya. Karena itu, ia ingin abunya disebarkan disini.”
Soleh terkejut setengah mati.
“Jangan-jangan, nama kakak kamu… Ayong? Hendriyanto Yong?”
“Ya. Tunggu, jangan-jangan kamu salah satu teman…”
Airmata Soleh tumpah. Ini batasnya. Akhirnya ia bisa bertemu lagi dengan Fahmi dan Ayong, meski masing-masing dengan wujud yang berbeda. Fahmi telah menjadi satu dengan laut. Ayong sekarang sudah datang, meski menjadi abu. Ternyata cinta abadi – persahabatan, tidak akan dipisahkan maut sekalipun.
“Aling… Boleh saya, ikut nyebarin juga? Saya kangen ngobrol sama koko kamu, hehe.”
Perempuan itu tersenyum. Maka Soleh, berdiri di samping perempuan itu, membuka guci, dan merasakan abu yang berdesir melewati tanganya. Ayong sedang memeluknya hangat, memberi ucapan semangat terakhir sebelum pergi ke Fahmi yang tengah menunggu di buih-buih ombak yang tak memberontak.
Butir abu terakhir sudah jatuh. Perempuan itu menutup guci itu. Senyumnya belum hilang. Soleh masih mengelap sisa-sisa terakhir dari air matanya.
“Ma… makasih ya, ling…”
“Sama-sama kak.” Perempuan itu menyunggingkan senyum di wajahnya. Senyum yang meminta Soleh berbuat lebih.
“Ling… mau naik perahu nggak?” Kakakmu dulu juga suka naik perahu ini…”
“Nggak, kak. Nggak usah repot-repot.”
“Aku cuma nyari cara supaya bisa ngebales kamu yang udah datang hari ini, kok.”
Perempuan itu menimang-nimang dengan singkat. Lalu menyunggingkan senyum terlebar yang pernah Soleh sunggingkan dengan berkata:
“Ya… Oke deh! Ayo kak, Aling belum pernah naik perahu.”
Senja di dermaga tua itu tidak pernah lebih menawan dari semburat bola jingga itu pada adegan ini. Seperti sebuah lantunan pantun yang asing bagi retorika. Layaknya kunang-kunang yang menjadi manifestasi jiwa-jiwa kesepian dan akhirnya meraup asa. Kota itu memang kecil, namun asa menjelma sebagai sumber resistensi akan stagnasi dan kekelaman. Dan bahwa maut bukanlah akhir dari cinta. Maut hanyalah pemisah temporer,sampai kita mencari satu hal yang kita cari bersama: Kedamaian abadi. Dan biarlah kelenteng lama, masjid agung, dan dermaga tua itu menjadi saksi indahnya bola pijar yang turun panggung itu, senja ini.
Banyak asa di sana.
Depok, 30 Desember 2012


Cerpen Karangan: Eduard Lazarus Tjiadarma
cr: cerpenmu.com

Tidak ada komentar:

To Top Page Up Page Down To Bottom Auto Scroll Stop Scroll