1) Dermaga tua itu masih sepi seperti sedia kala. Hanya seorang
laki-laki yang duduk di ujung, memandang matahari yang hendak terbenam
dengan tatapan lelah. Ia lapar, dan gumpalan bola jingga berpijar lemah
itu terlihat menggiurkan untuk batin yang merengek kesepian. Turun
panggung
dengan tersendat-sendat, namun tetap memaksa anggun. Parameter
bagi kadar asa yang kian menipis dan sekarat.
Perempuan itu belum datang. Atau tidak akan, mungkin.
Semesta terlalu kejam. Takdir mengalahkan simpati yang telah
berbulan-bulan menggunung: hasil manifestasi adalah obsesi. Namun
mengapa oh mengapa, penguasa ruang dan waktu sakti nan iseng, perempuan
itu belum datang juga senja ini?
Nafas berhembus mantap. Diam-diam sebuah hati tersayat kemenyerahan. Tak percaya takdir, katanya.
Toh katanya tujuan hidup hanyalah cakap-cakap manusia yang takut
kehilangan nyawanya. Dan ketika kebenaran konsepsi tujuan itu memang
nonsens, mereka yang percaya pelak kehilangan nurani. Dilema moral
hanyalah cakap-cakap lain yang kontradiktif. Surga dan neraka semoga
hanyalah cakap-cakap juga. Bentangan gelap tak berujung adalah imaji
yang larut menjadi opsi nyata; semu sudah kabur, menjelma realita.
Jilat ludahmu sendiri.
“Cinta-pada-pandangan-pertama” boleh terdengar seperti frasa pada
buku panduan cara menghindari patah hati bagi perempuan yang tengah akil
balig. Makanlah aib. Gravitasi takluk pada wajahnya. Tatapanya lebih
bening dari air danau dari kayangan manapun. Dan senyumnya telah
melelehkan jiwa-jiwa malang. Toh tetap disebut hiperbola. Nafsu memang
menjadi komoditi utama. Menjadi barang komplementer pun cinta tak
sanggup. Harga diri lelaki bahkan tak rela kalah dari kata picisan.
Apakah benar ada sesuatu semunafik cinta? Dan bukan nafsu pada pandangan pertama?
Pukul enam. Cahaya mulai tertarik ke bawah cakrawala.
Laki-laki itu berjalan naik turun dermaga dengan gerakan yang terukur
dan cepat. Rok*k yang terselip di jari-jarinya tak sanggup menafikan
fakta bahwa ia begitu pemalu. Tarik. Hembuskan. Tarik. Hembuskan. Hingga
hari penghakiman. Ah, memangnya siapa dia untuk berharap keberpihakan
semesta. Ia bisa saja meninggalkan dermaga ini sewaktu-waktu, menggulung
lara yang setia di daur ulang. Ia bahkan tidak tahu nama, umur, dan
asal sang perempuan. Hanya rutinitas yang selalu ia ulangi tiap hari,
jikalau sore tak bermega: Berdiri di ujung dermaga menjelang jatuhnya
sang raja siang. Hanya berdiri. Memandang senja dengan tatapan
menantang. Mengusik segala kenormalan dalam kungkungan rutinitas si
lelaki, yang hanya akan memandang heran melihat si perempuan yang asing,
mematung di ujung dermaga.
Ia tak berharap akan bertukar kata dengan si perempuan sekalipun. Ia
hanya ingin melihat sosoknya dari dekat. Bukan dari perahu kecil yang ia
gunakan untuk berlabuh menangkap ikan tiap senja. Ia hanya penasaran,
batinya. Apa pula itu cinta? Bapaknya sudah mati. Terbakar kobaran api
dalam tragedi ledakan kapal tanker. Emaknya pun menyusul enam bulan
lalu. Fahmi dan Ayong juga sudah menjadi penghuni Nirwana. Ia sebatang
kara, meski ia masih memiliki samudera, ikan, dan insting – untuk
bertahan hidup di dekapan laut Cina Selatan yang ganas ini. Mungkin
instinglah yang membawaku ke dermaga ini, batinya. Mungkin. Semoga.
Pukul enam lewat lima belas. Surya turun panggung. Bendera putih
berkobar. Si laki-laki naik ke atas perahu kecilnya, dan mulai mendayung
menuju kegelapan dan pekatnya malam. Ia sudah biasa pulang dengan
tangan hampa. Kapal kecil itu serupa batinya: Kasar, lapuk, namun masih
tangguh melawan prahara paling mengamuk sekalipun.
Ia hanya butuh sebuah senja yang cerah lagi esok hari.
2) Mungkin aku lebih baik mati saja. Toh sudah tak ada sorot di
mataku. Luka ini sudah tidak bisa lagi menutup. Aku rindu mendekapnya
erat dan aku ingin melakukanya melebihi apapun, meski aku harus merasa
sesak sesaat di tautan itu. Toh tak sebanding dengan derita yang ia
rasakan menjelang ajal. Terbakar. Sungguh pedih. Namun Soleh, bagaimana
dengan Soleh? Ia masih belia! Ia belum siap menghadapi malam-malam
berbadai dan puting beliung yang tak mengampun. Kalau tidak bapaknya
yang telah tiada, siapa lagilah yang harus menjaganya selain aku?
Maka tak apalah aku menahan sakit sedikit lebih lama. Mengasini ikan
dengan bisu saat siang. Sembab saat malam tiba. Dinginya belati rindu
yang menusuk hingga ke tulang. Rindu yang tidak lagi dipisahkan jarak
saat ia masih bekerja dulu. Rindu yang dipisahkan nyawa.
Perih. Sepi. Dingin.
Bulan menjadi saksi bisu azab. Elegi-elegi dalam bentuk rintihan tak
kuasa di tahan. Air mata serupa butiran mutiara dan air terjun.
Aku masih mengingat ketika ia meminangku dulu, sebuah malam yang
dingin dan tenang seperti malam ini. Hangatnya. Peluknya yang
memabukkan. Serupa candu yang tak cukup di kenang. Adisi.
Aku menenggak delapan butir kebebasan. Buatlah aku tidur lelap. Terjun bebas.
Aku melihat wajah suamiku. Aku dalam dekapanya kembali. Kami tersenyum
hingga bibir kami melebihi wajah kami dan bercahaya, lebih terang dari
semburat mentari. Tak ada lagi yang bisa memisahkan kami; maut pun sudah
kami langkahi dan injak-injak. Hanya aku, dia, dan Soleh…
Soleh?
“Soleeeeeeeh!!!”
3) Emak meninggal tadi malam. Pak RT datang saat shubuh, mengucapkan
belasungkawa dan mengurusi upacara pemakaman. Ibu Muti, wali kelasku,
datang saat matahari sudah naik, membawa setoples uang saweran. Bukti
solidaritas, katanya. Aku mendapat izin sekolah dua minggu. Untuk apa.
Aku tak hendak bersekolah lagi. Aku lebih nyaman di lautan. Menjala
ikan. Hidup megikuti arus dan angin laut hingga mabuk kebebasan.
Toh, tujuan hidup hanya cakap-cakap manusia yang takut kehilangan
nyawanya. Emak sudah bahagia dengan bapak. Tujuan hidup emak adalah
bapak. Saat bapak meninggal, tujuan hidup emak adalah kembali bersama
bapak. Emak hanya mengejar tujuan hidup tersebut. Namun emak berbeda. Ia
tak takut pada kematian lagi.
Kini aku harus meneruskan asa. Tanpa tujuan hidup pun tak masalah.Yang penting tak menjadi pecundang, kata bapak.
Ibu Muti sempat berkata akan menanggung biaya pendidikan. Ia seorang
janda seperti emak. Suaminya juga meninggal dalam kebakaran tanker yang
sama dengan bapak. Terlalu baik. Mungkin juga ia di bujuk Fahmi. Ah,
Fahmi. Denganya, perempuan bagai ikan-ikan yang tergoda umpan di ujung
kail, di tarik dan menggelepar di luar air. Kami sudah laksana saudara
semenjak kecil. Satu satunya hal yang tak bisaaku fahami adalah izin
meminjam perahu kecilku setiap kali ia membawa perempuan cantik yang ia
temui entah di mana. Cuma sekedar kenalan, katanya.
Sorenya, Ayong datang ke rumah dengan Tiger, membawa sebungkus rok*k
impor. Obat pelipur lara, katanya. Ayong. Hendriyanto Yong. Ayahnya
pengusaha resor pantai besar. Mungkin orangtuanya orang paling kaya di
kota. Setiap kali usai liburan, ia akan mengcinderamatai foto dari entah
negeri mana.
“Yang ini pas aku di London, lhoo. Yang ini, Sydney. Yang ini, New York. Keren-keren laah.”
Aku manggut manggut tanda tak faham. Dan tak ingin faham.
Kami bertemu di sekolah dasar. Ia sudah besar kepala dari orok. Setiap
hari datang ke sekolah dengan mainan baru dan enggan meminjamkanya ke
anak lain. Sombong amat. Aku lempari kepalanya dengan bola tenis. Bocor.
Emak di panggil ke sekolah. Anak pekerja kapal tanker membuat bocor
kepala anak pemilik resor. Syukur keluarganya tidak meminta ganti rugi.
Aku mendapat cambuk rotan dari bapak malam harinya.
Meski uang sakunya lebih banyak dari penghasilan bapak, ia tak punya
teman di sekolah. Lalu Fahmi, dengan jenaka mendekati dan menjadikanya
kawan. Tidaklah sulit mengambil hati seorang yang tengah terluka.
Jadilah kami bertiga: Soleh-Fahmi-Ayong. Tiga sekawan yang menggemparkan
dunia. Setelah bapak meninggal dan ibu memutuskan untuk menjadi bisu,
mereka berdua menjadi tujuan hidupku. Dermaga tua menjadi sorga untuk
meluapkan keresahan dan masalah hidup dalam ironi tawa. Fahmi yang jatuh
cinta lagi untuk yang kesekian ribu kalinya. Ayong yang di paksa
ayahnya meneruskan usaha, padahal ia menyimpan asa menjadi pembalap. Dan
aku yang bosan dengan segala kejenuhan abadi semesta: Rumah yang senyap
meski berpenghuni dan seorang emak yang tak urung bersuara.
Dermaga tua itu adalah sorga bagi kami. Tempat untuk menjadi gila
tanpa ada satu makhluk bumi pun yang mencela. Namun apalah artinya sorga
tanpa mereka-mereka yang berarti bagimu. Mereka yang setia memabukkan
siang dan menyuntikkan cahaya baskara ke dalam nadimu saat malam tiba.
Apa artinya sorga jikalau kau sebatang kara?
Pada sebuah malam yang senyap, Ayong muncul di depan rumah. Nafasnya
memburu. Ada gemuruh di matanya. Ombak pasang yang menggulung. Gunung
yang meletus. Ada pisau yang menancap dalam di setiap nafas yang ia
ambil.
“Fahmi hilang dari rumahnya. Kabur.”
Astaga.
4) Perempuan disampingku masih tertidur pulas meski ombak murka.
Penuh angkara. Seakan semesta pun hendak mengiyakan asumsi masyarakat
bahwa kami nista. Hina. Baiklah, barangkali mabuk asmara sampai kapanpun
tak dapat menjadi argumen. Namun realita terlewat pahit. Emak akan
terisak malu. Seorang anak guru membuat gempar. Kawin lari. Soleh dan
Ayong mungkin sedang resah. Namun apa daya. Semua orang punya tujuan
hidup. Dan inilah tujuan hidupku: Lelap dalam damai temporer,
disampingku.
Ia membawa kehidupan. Sebuah denyut lain dalam tubuhnya. Matahari yang menunggu waktunya terbit.
Perahu kecil Soleh menjadi saksi bisu gairah dan bara api yang
menyala penasaran. Bujang yang terlalu tergesa-gesa. Akal sehat kabur.
Nurani menguap entah kemana. Letusan cinta bagai kembang api tahun baru:
Meledak-ledak.
Kapal ini akan membawa kami ke ibukota. Penyegaran untuk jiwa-jiwa yang
hengkang dari realita. Aku masih punya seratus ribu. Cukup untuk makan
seminggu. Atau mungkin tidak? Apa aku harus mencari kerja? Berdoa
sajalah. Karena dimana ada cinta dan kasih disitulah ada Tuhan, bukan?
Ponselku bergetar. Ayong. Mungkin dia sudah tahu aku minggat.
“Kau ada dimana?”
“Di kapal, mau ke Jakarta.”
“Kenapa kau lari lah? Ibu kau nangis-nangis di rumah! Nanya kau ada
dimana sama aku! Minta dicariin! Bapak kau sudah tak ada! Masa kau mau
biarkan ibu kau sendiri? Buruan balik! Aku ama Soleh tunggu kau di
dermaga.”
Panggilan terputus. Sinyal hilang. Ada halilintar yang menusuk jauh ke dalam ulu hati. Menampar keras.
Lalu terdengar suara letusan dari gudang kapal. KR Pencari Damai karam.
Lima puluh tujuh penumpang hilang. Ada nama Nurfahmi Choirul dalam
daftar itu.
5) Mereka belum menemukan Fahmi. Aku hanya bisa berdoa di kelenteng
tiap pagi. Aku dengar dari Soleh kalau ibu Fahmi tidak mengajar lagi.
Terdengar lolongan dari rumahnya saat malam. Parau sekali. Kemudian ada
sanak saudara dari Bukit Tinggi yang datang menjemput. Rumahnya sudah
kosong selama 2 minggu.
Kota ini padahal indah. Pecinan di dekat pasar dipenuhi semburat warna
warni dalam arsitektur kuno: Jeruk, hio, barang elektronik, kembang api,
es cendol, barongsai, dan kelenteng kecil yang menarik. Di tepi laut,
kerap ada pertunjukan tradisional Melayu: tari-tarian semarak, nyanyian
yang mendayu-dayu, ditemani angin laut dan hawa tropis. Kota kecil ini
menggemaskan. Seratus sembilan puluh ribu wajah yang tak akan membuatmu
bosan. Kudapan yang menggugah selera, tergambar pada brosur-brosur
promosi. Kota ini riang gembira tanpa berpesta pora.
Namun mengapa hati kami tengah terbenam? Maut datang tanpa sambutan hangat. Satu-satu di ambil. Apakah aku giliran selanjutnya?
Papa semakin sakit. Ia masih bergumam tentang investasi, warisan, dan
kompetisi bahkan ketika tidur. Katanya waktunya sudah dekat. Aku harus
bersiap-siap. Menjadi ahli waris. Penerus. Harapan keluarga. Kebanggaan.
Aku sayang sekali dengan papa. Namun aku tak peduli semua itu. Tujuan
hidupku sedang kunaiki dan kubawa lari sekencang-kencangnya. Membelah
angin. Menjadi yang terdepan. Ini kompetisiku. Intrik dunia bisnis
rasanya kurang cocok. Salahkah seorang bodoh di kota kecil yang bahkan
tidak ada di atlas, mempunyai mimpai menjadi seorang pembalap? Jawab.
Aku melaju kencang. Melarikan diri dari realita. Menuju tikungan tajam itu. Eksekusi yang sempurna!
Lalu ban depan meletus, menyeret semua warna dari wajahku.
BRAK!
6) Lelaki itu masih tertegun bisu di dermaga tua itu. Bertanya-tanya,
kemanakah jiwa mereka semua pergi. Apakah ada kehidupan selanjutnya.
Apakah cinta dapat mengalahkan maut. Semua orang yang ia cintai telah
tiada. Sebatang kara adalah konsepsi paling pilu dan dingin di semesta.
Hidup tanpa rasa hangat yang membuncah di dada. Kemana perginya nurani?
Apakah sudah terbawa oleh mereka-mereka yang menelan senja lebih dulu?
Toh cinta tidak terbatas pada dimensi eros pada sepasang sejoli.
Mereka-mereka yang engkau doakan tiap malam, yang membuatmu terpukul
ketika mereka tidak dapat hadir di saat engkau hendak hancur, bukankah
mereka orang yang engkau cintai?
Ini batang rok*k yang ke dua belas. Cahaya mulai pudar perlahan di
horison. Seakan berlari, mengejar bola jingga yang tengah menyelesaikan
kalimat penutupnya. Pukul lima tiga puluh. Perempuan itu menginjakkan
kakinya di depan dermaga. Ia membawa sebuah guci.
Si lelaki melihat perempuan itu dari jarak yang lebih dekat daripada
sebelumnya. Dan mata kayangan itu ternyata jauh lebih bening. Seakan
didalamnya ada sebuah telaga dari air mata bidadari. Sungguh jernih.
Namun ada kesedihan yang tak bisa ia tutupi. Sebuah luka yang belum
kering. Duka yang serupa dengan emak, dengan dirinya sekarang: Rindu
yang dipisahkan nyawa.
Perempuan itu tahu dia sedang diperhatikan. Ia balas memperhatikan si
lelaki. Kemudian mereka terjebak dalam sebuah tatapan mata yang aneh.
Tatapan yang membuat malas untuk berdiam diri.
“Ha… Halo.”
“Hai.”
Si lelaki mengulurkan tanganya yang tengah bergetar hebat.
“Soleh.”
“Aling.”
“Ka… Kamu sering main kesini ya. Tiap sore.”
“Iya. Aku suka tempat ini. Dulu koko aku sering ngajak aku main kesini.”
“Ooh…”
”Dan aku senang, hari ini kita bisa main bersama lagi kesini.”
Perempuan itu tersenyum tulus. Soleh heran. Ia tak melihat adanya laki-laki lain.
“Mana kakakmu?”
Perempuan itu hanya melirik guci yang tengah ia bawa.
“Jadi kakakmu ada di dalam gu.. Eh, maaf, maksud saya, eh… Ma… maaf.”
Perempuan itu tetap tersenyum. Ia berkata:
“Tidak apa-apa. Kakak saya orangnya sabar, kecuali kalau lagi naik
motor. Ia meninggal dalam kecelakaan motor bulan lalu. Ia berkata,
tempat ini sangat istimewa untuknya. Tempat ia selalu bercengkrama
bersama dua teman baiknya. Karena itu, ia ingin abunya disebarkan
disini.”
Soleh terkejut setengah mati.
“Jangan-jangan, nama kakak kamu… Ayong? Hendriyanto Yong?”
“Ya. Tunggu, jangan-jangan kamu salah satu teman…”
Airmata Soleh tumpah. Ini batasnya. Akhirnya ia bisa bertemu lagi dengan
Fahmi dan Ayong, meski masing-masing dengan wujud yang berbeda. Fahmi
telah menjadi satu dengan laut. Ayong sekarang sudah datang, meski
menjadi abu. Ternyata cinta abadi – persahabatan, tidak akan dipisahkan
maut sekalipun.
“Aling… Boleh saya, ikut nyebarin juga? Saya kangen ngobrol sama koko kamu, hehe.”
Perempuan itu tersenyum. Maka Soleh, berdiri di samping perempuan itu,
membuka guci, dan merasakan abu yang berdesir melewati tanganya. Ayong
sedang memeluknya hangat, memberi ucapan semangat terakhir sebelum pergi
ke Fahmi yang tengah menunggu di buih-buih ombak yang tak memberontak.
Butir abu terakhir sudah jatuh. Perempuan itu menutup guci itu.
Senyumnya belum hilang. Soleh masih mengelap sisa-sisa terakhir dari air
matanya.
“Ma… makasih ya, ling…”
“Sama-sama kak.” Perempuan itu menyunggingkan senyum di wajahnya. Senyum yang meminta Soleh berbuat lebih.
“Ling… mau naik perahu nggak?” Kakakmu dulu juga suka naik perahu ini…”
“Nggak, kak. Nggak usah repot-repot.”
“Aku cuma nyari cara supaya bisa ngebales kamu yang udah datang hari ini, kok.”
Perempuan itu menimang-nimang dengan singkat. Lalu menyunggingkan senyum terlebar yang pernah Soleh sunggingkan dengan berkata:
“Ya… Oke deh! Ayo kak, Aling belum pernah naik perahu.”
Senja di dermaga tua itu tidak pernah lebih menawan dari semburat
bola jingga itu pada adegan ini. Seperti sebuah lantunan pantun yang
asing bagi retorika. Layaknya kunang-kunang yang menjadi manifestasi
jiwa-jiwa kesepian dan akhirnya meraup asa. Kota itu memang kecil, namun
asa menjelma sebagai sumber resistensi akan stagnasi dan kekelaman. Dan
bahwa maut bukanlah akhir dari cinta. Maut hanyalah pemisah
temporer,sampai kita mencari satu hal yang kita cari bersama: Kedamaian
abadi. Dan biarlah kelenteng lama, masjid agung, dan dermaga tua itu
menjadi saksi indahnya bola pijar yang turun panggung itu, senja ini.
Banyak asa di sana.
Depok, 30 Desember 2012
Cerpen Karangan: Eduard Lazarus Tjiadarma
cr: cerpenmu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar