“Wah mbak, mbok yo diturunin to hargane.. moso’ harga sekilonya empat ribu to..” protes salah seorang pembeli.
“Yah.. bu’ ini udah harga pasar, udah pas, ya nggak bisa ditawar lagi..” kataku pada pembeli tersebut.
“Opo ndak bisa diturunin to hargane.. uang saya iku cuman segini to mbak..” rengek sang pembeli.
“Ya udah, tiga ribu aja ya.!” Kataku.
Senyum pun mengembang dibibir sang pembeli tersebut, aku pun ikut senang melihatnya.
Siang yang terik itu, aku di minta Umi untuk menunggui lapaknya di pasar, hehehe…
Bener–bener panas banget, dua lapak di depan lapakku udah tutup duluan, mungkin karena cuaca yang panas kali ya..
Bang Udin, sang penjual es dawet yang sedari tadi duduk menunggui
gerobak esnya. Aku bener–bener haus, ya aku panggil aja bang Udin untuk
bikinin aku es dawet.
“Bang, Es dawetnya satu ya…!” kataku
Tanpa basa basi lagi bang udin… (Shret.. set.set.. set suat.. ting..) tara… es udah jadi.
“Nih Neng Esnya..” Bang Udin sambil memberikku sebuah mangkok ajaib penghilang rasa dahaga.
“Neng Ririn gak kuliah?” Tanya Bang Udin.
“Oh.. Iya ampe Lupa…” Aku yang sambil menyendok es.
Selepas minum es, aku segera menutup lapak dan bergegas pulang. Aku
naik angkot ke arah Pancoran, karena rumahku di daerah Pacoran.. ^_^
Ponselku berdering, tanda sms masuk… ternyata dari Elin sahabatku.
Eh.. ukhty di mana kok gak ada di kampus..?
Tak ku balas, so’alnya “AKU GAk PunyA PuLSa”.
Sesampaiku di rumah, umi gak ada.. wah kayaknya aku gak bakal kuliah deh kayaknya.. fikirku.
Dan untuk kali ini Elin menelponku,
“Hallo.. Assalamu’alaikum Ukhty” suara yang aku kenal cempreng abis.
“iye, wa’alaikumussalam.. da ape?”
“Ukhty gak kuliah..? tadi dicariin Lho ma…”
“Ma siape sih..?” tanyakku manyun.
“Masuk dulu donk, baru aku kasih tau..” Elin.
“Gak bisa Ukh, Ummi gak ada di rumah, kayaknya lagi ke majlis deh..” kataku.
“Majlis Diskusi… hehehehe” ledek Elin
“Ngawur, kualat ntar..”
“Ma’af deh… ntar pulang kuliah aku kesitu ya?”
“Iya, eh… jangan lupa martabak telurnya ma jagung bakar, kalo’ bisa sate ayam juga ya..!!”
Belum sempat Elin bicara ku buat ia bungkam dengan menutup telepon. Hihihi.
Sms Elin pun datang ‘Dasar aKhwAT GadUngan, tutup telpon tanpa permisi’
Aku hanya bisa tersenyum membaca sms tersebut ya.. apa daya pulsa untuk membalasnya tak ada.
Selepas magrib Ummi dan Elin datang, entah mereka ketemu di mana.
Tok.. tok.. tok.. “Assalamu’alaikum…” Elin dan Ummi serempak kayak pramuka.
Ciet… Jreng..jeng..jeng..! “Wa’alaikumussalam..” sambil cengar–cengir.
Elin langsung duduk tanpa di persilakan, emang sih Elin tu dah kayak kluarga sendiri.
“O..iya, nih sate ayam favoritmu Rin, jagung bakar kesukaan Ummi dan
martabak telurnya! Eh… iya satu lagi nih ada titipan dari.. aku gak tau
namanya tapi yang ngasih Irsyad, katanya sih dari seseorang…” Elin
sambil memberikanku suatu benda yang bentuknya seperi amplop. Emang itu
amplop, yg di dalemnya tu surat.
Aku hanya bilang “Oh..oo..”
Ssepulang Elin dari rumahku, yang pastinya seusai menunaikan kewajibanku
untuk solat. aku membaca surat yang di dalam amplop berwarna biru,
warna favorite ku. Isinya…
Assalamu’alaikum Ukhty…
Ukhty, senyummu membuat hatiku yang keras ini luluh.. kau tau, aku haru
melihat mu, melihat betapa indahnya makhluk manis yang diciptakan oleh
Allah, yang begitu teduh, yang begitu adab. Mungkin aku adalah sekian
dari sejuta ikhwan yang ingin lebih mengenalmu. Tapi.. akankah kau
berkenan dengan Ikhwan yang tidak indah ini? Jawabannya ukhty simpan
saja..
An Ikhwan ..^_^
Paginya, aku menemui Arsyad untuk mendapatan keterangan perihal surat tersebut.
“Assalamu’alikum Syad.”
“Eh.. Wa’alikumussalam, dah lama Rin?”
“Nggak kok baru lima menitan lah.. “
“Oh.. da apa nih, sampe nyempetin dateng ke base camp segala..?”
“Aku mau nanya tentang surat itu, yang kemaren dikasih Elin, siapa ya yang ngirim..?”
“A.. aku gak tau Rin, yang jelas ada seorang ikh…” belum sempat Arsyad
selesai tiba–tiba Ustad Ilham favorite ku itu dateng nyamperin kami,
“Dek, adek lagi gak sibuk?” tanyanya pada Arsyad.
“Mangnya ada apa kak?”
“Bisa anterin kakak ke rumahnya Aghna?”
“Ya kak!”
“M… Rin, ma’af ya aku mau nganterin kak Ilham ke rumah Aghna, gak pa-pa kan?” Tanya Arsyad padaku.
“Ya udah, gak apa-apa! Assalamu’alaikum” jawabku sambil pamit.
Sejujurnya aku malu pada ustad Ilham, gak tau kenapa aku merasa sesuatu
yang aku masih belum bisa terjemahkan sampe detik ini. Apa aku jatuh
cinta? Kurasa tidak, aku hanya kagum saja padanya. Mungkin tidak hanya
aku yang kagum padanya, masih banyak akhwat–akhwat yang lain
menyukainya. Betapa tidak, Dosen muda, jebolan Universitas Al–Azhar ,
cerdas, berkharismatik, sudah S2, dan tentunya sangat berbeda dari
ikhwan kebanyakan. Tapi sayang belum nikah, mungkin mau meretas karir
dulu kali ye… hus… kok ngomongin beliau sih!
Tapi aku kayaknya merasa berdosa, setiap aku merasakan hal yang
berbeda itu. Aku takut, cintaku yang sebenarnya teruntuk kepada Allah
Swt. Harus ternodai oleh perasaan haram pada seorang ikhwan. Aku tak
merasa bahwa prinsipku ini keterlaluan, tapi perasaan berdosa yang
membuatku merasa aku harus memupuskan perasaan cintaku yang belum halal
ini pada seorang ikhwan. Aku merasa malu atas hijab yang tersingkap oleh
tingkah polah bodohku ini. Cie… serius amat sih…! ^_^
Setelah hari itu, surat warna biru terus ku terima setiap hari, surat
itu kini berisi nasihat, kata–kata humor, kata–kata mutiara. Dan
sesekali ku balas.
Juga pada malam ulang tahunku yang seminggu lalu, sang ikhwan misterius
ini lah yang pertama kali mengucapkan ulang tahun padaku lewat SMS.
Entah siapa yang memberikan dia nomor ponselku. Alhamdulillah dia tak
pernah menelponku. Dan minggu besok, ikhwan ini mengajakku untuk bertemu
dengannya di warung bakso depan kampus. Aku menolak, tapi aku penasaran
dengan ikhwan misterius ini.
Dan aku pun menerima permintaanya, kami pun membuat janji besok hari
minggu ba’da talaqqi Al-Qur’an aku akan menemuinya di warung bakso.
Hari minggu pun tiba, aku deg–degan. Tepat jam 2 siang aku pamit pada
Ummi untuk pergi talaqqi pada Ustadzah Qanita. 4 jam aku talaqqi tapi
perasaanku tidak tenang. keringat terus mengucur dibadanku.
Jam 5, aku keluar dari tempat Talaqqi. Perasaanku makin deg–degan.
Jantungku berdetak cepat. Kakiku terasa kaku, berat rasanya melangkah.
Tapi aku sudah janji, biarlah.
Aku masuk ke warung bakso, Cuma pak mucle seorang.
“Eh.. mbak, silakan mbak..” sapa pak Mucle.
“Ya makasih pak, sepi nih..?” tanyaku basa basi.
“Ya nih mbak..” jawab Pak mucle santai sambil membuatkanku semangkok bakso.
Tiga puluh menit sudah ku menunggu di warung bakso, satu mangkok
bakso sudah habis. Ku raih ponselku yang ada di dalam tas cangklongku.
Ku cari nomor ikhwan misterius itu, ku dapat. Ku coba hubungi tapi
mailbox, ku sms tidak dibalas.
Kini rasanya aku dipermainkan, aku betul–betul benci padanya. Setelah
pamit dan membayar bakso pada pak Mucle. Aku pergi ke Masjid untuk
shalat maghrib berjama’ah. Sepulang dari masjid, mulutku tak
henti–hentinya komat–kamit marah – marah. Di angkot aku bertemu dengan
adik tingkat, untunglah ada teman ngobrol.
Aku turun di gang komplek rumah, dari kejauhan terlihat olehku sebuah
mobil Nissan silver parkir di depan rumah. Mungkin itu paman dari desa
fikirku.
Semakin dekat ke rumah, entah bagaimana aku tidak tau kenapa aku merasa deg–degan. Sampai di depan pintu,
“Assalamu’alaikum..” suaraku pelan.
“Wa’alaikumussalam.” Terdengar suara banyak orang (ummi membuka pintu).
Aku terhenti, tapi tidak menganga, di ruang tamu sudah ada Ustad Ilham,
Ummi Fatina, Abah Hasyim, yang tak lain adalah orang tua Ustad Ilham dan
juga Arsyad ta ketinggalan juga Elin yang ternyata keponakan Ustad
Ilham (Aku gak tau karena aku sahabatan sama Elin sejak dua semester
lalu).
Aku duduk di samping Ummi. Ustad Ilham pun menyampaikan maksud kedatangannya ke rumah.
“Ririn, sebetulnya yang ikhwan misterius itu adalah sa… saya..” ucap Ustad terbata–bata.
Aku masih diam, tak bisa coment.
“Rin, sebenernya paman aku ini udah suka sama kamu sejak setahun lalu,
dan beruntungnya kamu juga suka kan ma pamanku ini..?” tambah Elin.
“Tapi kenapa kayak gini caranya?” tanyaku
“Ya, Saya hanya ingin tahu saja kamu itu seperti apa!” jawab ustad Ilham.
“Tapi apa harus dengan membuat saya bingung?” tanyaku balik.
“Ma’afkan saya Rin.” Ustad Ilham
“terus terang memang saya sempat kagum pada antum ustad tapi, saya takut
kalau saya nantinya menjadi suka pada ustad. Oleh karenanya dari jauh
hari sebelumnya saya mencoba untuk memupuskan perasaan saya.” Terang
Ririn
“Nah, nak Ririn.. kami datang ke sini atas permintaan Ilham untuk mengkhitbahmu nak.!” Ummi Fatina.
“Tapi Ummi, saya masih belum percaya. Kalau bukan ustad sendiri yang bilang.” Pancingku.
Ustad pun menatapku dalam–dalam, dan mulai berbicara.
“Ririn, aku dan keluargaku ke mari untuk mengkhitbahmu, berkenankah
engkau untuk menerima khitbahku..? Ustad Ilham tenang dan pelan.
Aku menunduk… dan ku tegakkan kembali,
“Bismillahirrohmaanirrohimm.. ya ustad saya menerima lamaran anda.”
Suasana yang sebelumnya kaku dan beku kini mulai mencair, terdengar
olehku walaupun sayup–sayup usatd Ilham mengucapkan hamdalah. Aku dan
Ummi berpelukan, air mataku tak terbendung lagi. Ummi fatina memelukku
dengan penuh kelembutan, Arsyad dan Elin mengucapkan selamat. Sungguh
sauna yang haru untukku.
“Rin, sekarang kamu gak usah manggil Ustad lagi, tapi manggil kakang Ilham.. hehehe..!!” Ledek Elin.
Aku tersipu , ustad hanya tersenyum mendengar celoteh keponakannya itu.
Memang indah, apabila yang kita cintai juga mencintai kita. Dan nikmanya mencintai karena Allah
Cerpen Karangan: Baiq Rahmayanti Masruri
Facebook: Baiq Rahmayanti
cr: cerpenmu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar