Sepertinya saya perlu menshare kisah ini yang tak sengaja saya temukan, di blog Epras.
Adakalanya, tidaklah elok bila kita memandang dan menilai sesuatu secara kasat mata saja.
Poin inilah yang berhasil
aku renung-renungkan dari seorang sopir mobil travel jurusan
Solok-Padang yang kutumpangi beberapa waktu yang lalu.
Kala itu, Sabtu pagi
tanggal 21 September 2013, aku bertolak dari rumah ke Padang dengan
menumpang sebuah mobil travel, menuju perpustakaan kampus Pasca Sarjana
IAIN Imam Bonjol Padang. Tujuanku ketika itu adalah untuk melakukan
riset pustaka dan mengumpulkan data-data penunjang guna kepentingan
thesis yang sedang aku garap di International Islamic University
Malaysia (IIUM).
Karena thesis yang sedang
aku susun tersebut bertema ke-Indonesia-an, maka tentu referensi dan
rujukannya lebih banyak berada di Indonesia. Sehingga keberadaanku di
Indonesia pada musim liburan tahun ini betul-betul aku manfaatkan demi
penulisan thesis.
Dan di pagi itu, setelah
beberapa saat menunggu di Simpang Empat Talang, akhirnya mobil travel
yang aku tunggu-tunggu pun tiba. Masih sepi dan kosong. Hanya tampak
seorang penumpang lelaki paruh baya yang duduk di samping sang sopir.
Sepertinya mobil travel ini sengaja tidak menunggu penumpang di sekitar
kota Solok dan lebih memilih mencari di sepanjang jalan, pikirku saat
itu. Akhirnya, aku dan tiga orang ibu-ibu yang membawa anak mereka
masing-masing naik ke dalam mobil tersebut.
Sejatinya, mobil travel
di daerahku adalah mobil-mobil bermuatan tujuh orang penumpang semacam
mobil Avanza dan sejenisnya. Jika dilihat sekilas, nyaris tidak tampak
perbedaan mendasar antara mobil-mobil pribadi dengan mobil jasa travel
ini, memakai merk-merk travel apapun tidak. Hanya saja, ketika mobil
travel tersebut melewati orang yang terlihat seperti akan pergi ke
Padang, maka biasanya sang sopir akan menghentikan mobilnya dan menyapa,
“Padang, Uda? Padang, Uni?” Maka, saat itulah baru diketahui bahwa
mobil tersebut adalah mobil travel. Sederhana sekali.
Sejurus kemudian, sopir
travel mulai melarikan mobil tersebut secara perlahan, barangkali karena
penumpangnya belum penuh. Aku melemparkan pandangan ke arah jok kursi
belakang. Masih ada dua kursi yang belum terisi. Aku yang saat itu duduk
persis di belakang jok sopir lalu memutuskan untuk membaca sebuah buku
yang kubawa dalam tas. Perjalanan ke lokasi yang aku tuju memakan waktu
lebih kurang satu setengah jam.
Di sela-sela membaca, aku
mendengar sang sopir berbincang-bincang ringan dengan laki-laki paruh
baya yang duduk di sampingnya tadi. Sesekali aku melemparkan pandangan
ke luar jendela, untuk memastikan perjalanan sudah sampai di mana. Dari
hasil laporan mata, aku menangkap bahwa sopir travel itu layaknya
sopir-sopir angkutan publik lainnya yang selama ini aku lihat dan temui.
Biasa saja. Ia berpenampilan sederhana dengan raut wajah yang
menyiratkan sosok pekerja keras.
Memasuki gerbang kota
Padang, ketiga ibu-ibu tadi turun. Mereka rupanya menuju sebuah
gelanggang olahraga yang berada di kompleks Perusahaan Semen Indarung
Padang. Mobil travel tumpanganku itu kemudian melanjutkan perjalanannya.
Tiba-tiba aku teringat, bahwa hari Rabu depan aku akan bertolak ke
Kuala Lumpur. Tentu saja aku harus memesan mobil travel yang akan
mengantarkanku ke Bandara International Minangkabau. Pasalnya, jika aku
pergi ke bandara dengan angkutan umum, maka setidak-tidaknya aku harus
berganti tiga kali kendaraan. Tentu saja hal demikian sangat merepotkan
dan tidak nyaman. Maka, mumpung saat itu aku sedang berada di dalam
mobil travel, kontan saja aku berujar kepada sopir itu dari belakang jok
kursinya:
“Uda, hari Rabu depan bisa ndak mengantarkan saya ke bandara?”
“Wah, sayang sekali ndak bisa, Dek. Hari Rabu itu mobil ini sudah ada yang menyewa.”
“Oh gitu. Ya udah, ndak apa-apa.”
Ia lalu bertanya, “Memangnya mau ke mana, Dek?”
“Saya mau ke Malaysia,” jawabku.
“Jadi TKI di sana?” Laki-laki paruh baya di samping sopir tersebut ikut bertanya.
“Oh, bukan, Da. Ambo kuliah di sana.”
“Begini saja,” potong
sopir tadi. “Ambo berikan saja nomor handphone kawan ambo. Dia juga
sopir travel seperti ambo. Nanti Adiak hubungi saja dia.”
“Oh. Baiklah,” ujarku.
Ia lalu menghubungi rekan
seprofesinya tersebut, dan mengabarkan bahwa ada seorang penumpang yang
memerlukan jasa travel ke bandara hari Rabu depan. Setelah
dikonfirmasi, sopir travel itu lalu mengulurkan kepadaku telepon
selulernya yang menampilkan nomor telepon kawannya tersebut. Aku lalu
menyimpan nomor tersebut di handphone-ku.
“Sudah semester berapa?” Laki-laki paruh baya itu kembali bertanya.
“Semester empat. Ambo sedang ambil S-2 di sana, di IIUM.”
“Ooohhh.”
“Dulu S-1-nya di mana?”
“Ambo dulu S-1 di Mesir, di Universitas Al-Azhar Cairo,” terangku sambil tersenyum.
“Ooohh. Bagus.”
Sopir travel itu lalu
ikut menimpali. Ia yang dari tadi hanya diam dan fokus mengemudi
sepertinya tertarik dengan topik pembicaraanku dengan lelaki separuh
baya itu.
“Wah, Adiak tamatan
Universitas Al-Azhar ya? Anak ambo juga bercita-cita ingin kuliah ke
sana nanti,” ujarnya sambil tetap fokus menyetir.
“Oh ya? Sekarang anaknya sekolah di mana, Da?,” tanyaku penasaran.
“Sekarang dia baru kelas
lima SD. Dia bersekolah di sebuah SDIT di Dharmasraya. Sekarang sudah
hafal 3 juz Al-Quran lho, Dek,” ungkapnya bangga.
Laki-laki yang
kukira-kira sudah berumur empat puluhan tahun itu kemudian menuturkan,
bahwa puteranya itu bernama Shiddiq. Selaku orangtua, tak terperi
bahagia jiwanya memiliki anak seperti dia. Di sekolahnya dia selalu
juara kelas. Di rumah dia rajin menghafal Al-Quran. Ia sama sekali tak
menyangka, dirinya yang selama ini jauh dari agama ternyata dianugerahi
anak yang shaleh dan dekat dengan Al-Quran.
Bahkan, baru-baru ini,
anaknya tersebut memenangi lomba menghafal Juz ‘Amma tingkat SD
se-Dharmasraya. Ia mampu mengalahkan rekan-rekannya dari sekolah-sekolah
negeri. Hebatnya lagi, tuturnya, putera kebanggaannya itu kini sudah
bisa pula membetulkan bacaan Al-Quran siapapun yang menurutnya tidak
tepat secara tajwid. Sebelum tamat SD nanti, ia sudah menargetkan hafal 5
juz Al-Quran.
Terang saja, aku
terkagum-kagum menyimak penuturan sosok sopir yang ternyata adalah ayah
dari calon hafizh Al-Quran itu. Aku kemudian berkomentar, “Betapa
beruntungnya Uda memiliki anak seperti dia. Memiliki anak seperti
Shiddiq tentu adalah impian setiap orangtua, apalagi di zaman seperti
sekarang.”
“Betul, Dek. Bahkan saya
sendiri, mau dibayar berapapun, saya yakin tidak akan mampu menghafal
Al-Quran. Sementara dia, alhamdulillah bisa menghafal Al-Quran di
usianya yang masih dini,” tambahnya lagi sambil berkaca-kaca.
“Sejak melihat anugerah
Allah pada anak saya itu, saya jadi merenungi diri, biarlah saya saja
yang gagal hidup tidak berpendidikan. Toh ini juga karena kelalaian saya
pada masa muda dulu. Biarlah saya saja sebagai ayahnya yang hidup
membanting tulang seperti ini, asalkan ia hidup dengan ilmu, dengan
pendidikan. Prestasi dan keshalehannya telah menjadi pengobat jerih dan
penguap penat bagi saya sebagai orangtuanya. Kelak, demi masa depannya,
apapun akan saya lakukan, akan saya hutang-hutangkan ke sana ke mari
kalau perlu. Doakan ya, Dek. Semoga anak saya itu kelak bisa mencapai
cita-citanya kuliah ke Mesir, ke Universitas Al-Azhar,” pungkasnya.
Aku yang duduk di
belakangnya tak kuasa menahan haru selepas menyimak penuturan sopir
travel tersebut. Tanpa sadar, kedua mataku pun turut berkaca-kaca,
dadaku bergemuruh. Entah kenapa, rasanya saat itulah aku bisa merasakan
betul bagaimana psikologi menjadi orangtua dan seperti apa kasih sayang
orangtua terhadap anaknya. Seketika aku jadi teringat dengan segala
pengorbanan ayah dan ibuku sendiri terhadapku, semenjak aku bersekolah
hingga kini aku melanjutkan S-2 di Malaysia. Apa yang tidak ada
diada-adakan, bahkan dihutang-hutangkan ke sana ke mari dulu bila perlu.
Ya, persis seperti apa yang diungkapkan oleh sopir travel itu. Semua
jerih payah ayah dan ibu selama ini berkelebat di benakku. Kontemplasiku
kala itu membawaku pada satu titik sadar. Bahwa aku sekali-kali tidak
boleh menghampakan harapan kedua orangtuaku. Aku tertegun lama
dibuatnya. Lama sekali.
Benar, sopir travel yang
sepintas hanya biasa-biasa itu rupa-rupanya seorang ayah yang sangat
luar biasa. Ia seorang ayah dari calon hafizh Al-Quran. Ia mungkin
memang tidak memiliki pengetahuan agama yang memadai, tapi ia ingin
sekali memiliki anak yang shaleh. Anak yang akan menjadi penyejuk jiwa,
pengobat jerih, dan penguap lelahnya hidup. Anak yang kelak tak akan
putus-putus mengirimkan pundi-pundi amal dan bait-bait doa bagi kedua
orangtuanya, sekalipun mereka telah berada dalam liang lahat.
Cr: epras2.blogspot.com/2013/10/kisah-sopir-travel-itu-seorang-ayah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar