Dalam tengahnya hujan, aku menanti kendaraan. Kulihat titik
hujan jatuh beraturan membasahi bumi. Menimbulkan percikan bunyi yang
berdendang seperti irama piano yang dibunyikan.
Samar-samar aku melihat sosok wajah teduh dari balik bayangan titik-titik hujan yang mengguyur deras. Sosok wajah teduh itu berlari kecil sambil kedua tangannya memegang tas yang memayungi kepalanya dari hujan.
Itu tak membantu, tapi itu seperti menghibur dirinya bahwa ia bisa terhindar dari guyuran hujan. Kenyataan, tubuhnya tetap basah kuyup karena hujan.
Wajahnya basah. Keringat dan air hujan menyatu. Ia tetap berlari ke tempatku. Dimana tempatku yang bisa menjadi tempatnya untuk berlindung dari hujan.
Nafasnya tersengal-sengal. Tangannya terus mengelap kulitnya yang basah. Tapi itu percuma, karena yang dilakukannya takkan membuat kulitnya kering.
Bajunya basah kuyup. Ia menggigil. Sambil memandang ke arah jalan di depan kami, ia terus mendekapkan kedua tangannya untuk menghangatkan tubuhnya.
Aku terusik dengan kehadirannya. Aku merasa tak nyaman ia berada di sampingku. Aku kikuk melihatnya terus diam tanpa bersuara.
Sempat terlintas dalam pikiranku. Aku mendekatinya. Lalu mengelap wajahnya yang basah dengan sapu tanganku yang masih kering. Dan memberikan jaketku untuk menghangatkan tubuhnya.
Tapi kuurungkan niat itu. Aku memilih diam di tempatku dan menundukan kepalaku sambil menunggu hujan reda. Aku menutup telingaku, menutup mataku. Dan juga tetap mengunci pintu hatiku rapat-rapat.
—
Malam yang dingin hampir membekukanku. Kurapatkan jaketku untuk menahan rasa dingin.
Satu jam yang lalu, ayah menyuruhku untuk pergi ke rumah Eyang. Bukan untuk liburan atau pun menengok. Melainkan untuk tinggal sementara di sana.
“Kau tak mungkin tinggal sendirian di rumah. Sedangkan ayah dan ibu pergi bersama adik-adikmu. Nanti kalau ada apa-apa denganmu, kami juga yang repot. Sebaiknya kau pergi ke rumah Eyang saja.” kata ayah.
Bukannya aku tak mau ikut. Tapi kenyataan, ayah tak mengajakku, begitu pula dengan ibuku.
Aku tak pernah menyalahkan mereka. Atau pun membenci mereka. Aku tetap sayang pada mereka.
Aku duduk diam di dalam bus yang memang penumpangnya sedikit. Sesekali mataku memandang jendela. Kulihat tetesan-tetesan air menempel di kaca jendela. Bukan air hujan, tapi karena udara malam sangat dingin yang menimbulkan titik–titik embun.
Jalan yang mulai sepi. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Lampu-lampu jalan menyala seperti bintang penghias malam.
Aku masih terjaga dalam diam. Tak ingin memejamkan mata sedetik pun.
Kubiarkan mataku menyapu puas pemandangan malam ini. Membiarkan semuanya terekam dalam memori otakku. Bus berhenti di pemberhentian berikutnya. Tak banyak yang naik, hanya beberapa yang ikut.
Sepintas aku melihat sosok cowok yang tengah menaiki bus. Ia tak asing bagiku. Aku seperti mengenalnya, tapi aku tak ingat.
Kualihkan kembali pandanganku ke luar jendela. Menikmati sisa malam yang begitu dingin hingga menusuk tulang-tulangku.
Sudah berapa lama bus melaju, aku tak menyadarinya. Hingga membuatku bosan. Mataku mulai mengantuk. Penyakit malam mulai menyerang diriku.
Perlahan kusandarkan wajahku ke jendela. Memejamkan mata, menyambut alam mimpiku. Hingga tanpa kusadari, seseorang duduk di sebelah kananku.
Aku bermain-main dengan mimpiku. Seperti tubuhku terseret ombak yang menggulung besar. Dan aku terombang-ambing di tengahnya tanpa bisa berenang kembali ke tepian pantai. Aku terlanjur terbawa ombak hingga terseret arus ke tengah samudera yang dalam.
Dalam mimpiku atau bukan, aku merasakan kepalaku disentuh seseorang. Dibawanya ke bahunya sambil tangannya dilingkarkan ke bahuku.
Aku tak menolak, bahkan menghindarinya. Seperti ditarik magnet yang sangat kuat. Membuat siluet yang tak mudah untuk dilepaskan.
Tangan kirinya membelai kepalaku. Aku merasakan seperti tetesan embun yang jatuh ke ubun-ubunku. Merasuk ke dalam tubuhku. Menyebar, menciptakan salju-salju putih di dalamnya.
Tangan kanannya membelai pipi kananku. Seperti panas matahari yang menyinari tumbuh-tumbuhan. Seperti itulah panas yang kurasakan di tubuhku. Menumbuhkan bunga-bunga kecil di setiap jalan yang dilewatinya.
Aku merasa seperti tertidur di atas ayunan di tengah hamparan rerumputan di tengah musim panas. Wajahku yang terlelap dihunjami sinar matahari pagi yang menyejukkan. Sesekali mataku mengernyit karena silau oleh cahaya.
Aku tak ingin bangun. Aku tak ingin mimpi indah itu lenyap, begitu aku terjaga. Aku ingin terlelap terus dengan kehangatan cahaya-Nya.
Bruk!
Aku terjaga, oleh goyangan bus yang sepertinya menabrak sesuatu. Seketika aku memegangi kepalaku yang terasa pusing.
“Kamu tidak apa-apa?”
Aku menoleh ke sebelahku. Seketika aku tertegun menatap wajah teduh di sampingku. Lama aku menatapnya. Seperti ada duri yang menusuk dadaku. Rasanya sakit sekali.
Ia mengernyitkan dahinya. Memaksaku kembali dari lamunanku. ”Tidak. Aku tidak apa-apa.” ucapku pendek.
Kualihkan kembali pandanganku ke jendela. Menahan rasa pening di kepalaku, sepertii ditusuk-tusuk beribu-ribu paku. Terlebih dengan rasa nyeri yang ngilu di dadaku. Sakit sekali seperti tertimpa batangan logam yang berat.
Kutajamkan telingaku. Mencoba memperhatikan gerak-gerik cowok di sampingku. Hening. Tak ada suara. Sepertinya ia tertidur. Karena sekarang sudah larut malam. Dan sepanjang malam itu, aku tak bisa lagi tertidur dengan pulas.
—
Kubiarkan langkah kakiku membawa kemana ia mau. Menyusuri pusat kota yang ramai. Melihat orang-orang yang berlalu lalang. Terdengar suara yang memekikkan telingaku. Hampir-hampir aku berteriak pada mereka untuk diam. Namun bibir ini tetap membeku dalam kesendirian yang membuatku sepi.
Sudah satu minggu, aku tinggal di rumah Eyang, kota kelahiran ibu. Namun tak ada satu pun dari ayah dan ibu meneleponku sekedar menanyakan keadaanku.
Aku merasakan perih di hatiku. Mengingat mereka melupakan aku. Mereka lebih memilih bersenang-senang dengan kedua adikku.
Dari dulu, mereka selalu mengasingkanku. Dan aku tak tahu kenapa mereka melakukan itu terhadapku.
Aku masih berjalan gontai. Tak ada satu pun tempat yang ingin ku kunjungi. Hanya ingin melelahkan kakiku saja, lalu pulang ke rumah Eyang.
“Sepertinya matahari bersinar dengan sempurnanya. Tapi kenapa ada awan mendung disini ya?”
Kupalingkan wajahku ke belakang selepas mendengar sebuah suara yang tak asing di telingaku.
Aku berdiam diri memandangnya tak percaya. Mungkinkah aku tengah bermimpi? Tanyaku dalam hati.
“Hallo! Kok bengong sih?” Cowok itu melambaikan tangannya di depan wajahku.
Aku memandangnya dengan membisu. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Bukannya tak ada, tapi tak ingin.
Aku mengangguk. Lalu kembali berjalan. Cowok itu setengah berlari untuk melangkah berjejer di sampingku.
Kami saling diam. Kaki terus melangkah menyusuri tepian jalan. Asyik mendengarkan suara bising. Seperti suara kecapi yang dipetik.
“Kau suka diam ya?”
Aku menoleh. Menatapnya dari samping. Ada sesuatu yang mengganggu hatiku. Kualihkan kembali pandangan ke depan, lalu menggeleng lemah.
“Tidak.” Ucapku lirih hampir berbisik.
“Sebaiknya kita berpisah di sini. Kukira kau akan lurus.” Aku baru sadar kalau kami sudah berada di persimpangan jalan. Dan yang dikatakannya benar. Aku akan berjalan lurus untuk pulang ke rumah Eyang.
Aku diam di tempatku. Menatapnya berjalan belok. Memandang punggungnya yang bidang berjalan pergi.
—
Sinar bulan tak sebenderang dulu. Cahayanya kian meredup seiring waktu yang mengikisnya. Awan mendung menari indah di depan bulan. Tertawa menghina. Karena bulan tak lagi memberi sinarnya pada malam.
Klek!
Terdengar suara pintu dibuka. Aku yang tengah berdiri di dekat jendela sambil menyandarinya langsung menoleh seketika mendengar suara langkah kaki memasuki kamar sederhana yang kutempati di rumah Eyang.
Kulihat Eyang Putri berjalan tergopoh mendekatiku.
“Rupanya kau belum tidur.” suara serak Eyang kembali mengingatkanku pada masa kanak-kanakku.
“Eyang. Kenapa Eyang belum tidur?”
Aku mendekati Eyang dan memapahnya ke tepian tempat tidur.
“Kau belum ngantuk nduk?”
Tangan keriputnya mengusap pipi kiriku. Kebiasaan yang semanjak kecil ia lakukan padaku. Kebiasaan yang membuatku merasa seperti berada di awan.
“Belum Eyang. Belum ngantuk.” jawabku sekenanya. Berusaha menyembunyikan perasaanku. Namun aku keliru pada orang yang satu ini. Ia tak mudah di kelabui. Ia terlalu mudah mengetahui perasaan orang lain, sampai tak ada satu rahasia pun yang bisa disembunyikan darinya.
“Kenapa murung? Ada pikiran yang mengganggumu?”
Wanita baya itu menatapku dengan sorotan menusuk.
“Tidak. Tidak sekarang Eyang. Aku belum siap.” jawabku lemah. Tak lagi memandangnya. Aku lebih memilih memainkan jariku, mengaitkannya lalu di lepaskan. Seperti itu berulang-ulang.
Tangan kasar Eyang menarik tangan kiriku dan membawanya ke pangkuannya. Lalu menggosok-gosokannya dengan lembut.
“Kalau belum siap, tidak apa-apa nduk. Cuma satu pesan Eyang. Jangan kau simpan perasaanmu. Jika suka ya bilang suka. Jika tidak ya tidak. Jangan kau tidak suka, tapi bilang suka. Dan satu hal lagi, raihlah bahagiamu. Sudah saatnya kau mendapatkannya.”
Eyang bangkit dari duduknya dan menundukkan kepalanya, lalu mencium keningku.
Aku duduk terdiam sambil memandang kepergian eyang
Mungkinkah ini saatnya aku mendapatkan kebahagiaanku, batinku berbicara.
Aku bimbang. Dadaku bergejolak. Hatiku gamang. Jiwaku melemah.
Selama ini aku berpura-pura aku baik-baik saja. Tapi hatiku terluka selama ini aku berpura-pura tersenyum, padahal hatiku menangis. Selama ini aku berpura-pura mengalah, padahal hatiku ingin menang.
‘Haruskah wajah baru mengganti wajah lama yang terrlihat menurut? Ataukah topeng itu akan terus kukenakan sampai akhir nafasku?’
—
Bunga bermekaran di tengah musim gugur. Hujan turun di musim panas. Dan daun berguguran di musim hujan.
Matahari bersinar di tengah malam yang menyelimuti hati. Menyilaukan sinarnya pada pandangan yang tak biasa terang.
Mereka menutup mata mereka dengan sinarnya karena terlalu silau. Mereka berpaling dan memilih kegelapan menjadi background kehidupan mereka. Menyusuri jalan yang sebenarnya berduri. Tapi mereka tak menghiraukan. Tak peduli karena tak terlihat oleh mata mereka.
“Pagi!”
Aku menoleh pada sosok cowok yang tengah berdiri di hadapanku. Ia ikut duduk di sampingku yang tengah membaca novel.
“Asmara yang menghilang!” ucapnya sambil menatap cover novel yang kupegang. “Bagus kok ceritanya. Aku juga suka.” katanya sambil tersenyum memandang anak-anak kecil yang tengah berlarian di rerumputan di depan kami.
Aku ikut memandang pada arah anak-anak kecil yang tengah asyik bermain. Mereka seperti malaikat kecil yang tertawa lepas di tengah kebahagiaan. Aku mengingat kembali masa kecilku. Dimana masa kanak-kanakku yang bahagia bersama Eyang. Tak ada ikut campur tangan ayah dan ibu. Semenjak kecil, aku diasuh Eyang. Hanya satu bulan sekali atau saat liburan saja ayah dan ibu menengokku. Membawaku pulang ke rumah.
Di rumah, aku hanya dijadikan boneka hiasan mereka saja. Mereka terlalu sibuk mencurahkan kasih sayang mereka pada kedua adik-adikku. Bahkan sampai usiaku menginjak tujuh belas tahun. Mereka masih menganggapku hanya benalu di antara mereka yang harus cepat-cepat dibersihkan.
Mereka menyemai luka padaku sejak kecil. Sejak aku belum tahu apa-apa. Dan sekarang, mereka masih melakukannya. Menyemai banyak luka di hatiku. Sampai tempat di hatiku tak lagi muat untuk luka itu.
“Kau lapar?” tanyanya lembut. “Ayo ikut! Kau pasti suka!”
Tanpa menunggu jawaban dariku, tangannya langsung menarik lenganku dan membawaku ke parkiran motor.
Ia mengambil helm dan memakainya, lalu menaiki motornya dan menyuruhku naik. Dengan enggan, aku membonceng ke motornya.
“Pegang yang kencang!” serunya setelah motornya melaju.
Kuikatkan tanganku pada pinggangnya.
Beberapa menit kemudian, kami berhenti di sebuah restaurant Jepang. Aku sempat menatap ragu pada restaurant di depanku. Ragu untuk memasukinya.
Ada rasa yang tak enak mengerumuni perasaanku. Membuatku pusing.
“Ayo masuk! Apa kau akan berdiri terus di situ sambil menatap restaurant itu?”
Laki-laki itu menarikku. Melingkarkan tangannya ke punggung leherku. Dan kami memasuki restaurant itu.
Saat pintu restaurant dibuka, bukan aroma masakan Jepang yang lezat yang kucium. Tapi aroma pertengkaran seorang pria dan wanita di dalam restaurant. Entah apa yang diributkan mereka. Tapi mereka telah berhasil menarik perhatian pengunjung lain.
Pertengkaran dua orang itu memaksaku berhenti begitu pula dengan cowok di sampingku. Pertengkaran itu tak diusahakan untuk dilerai atau berhenti. Semua orang hanya diam menyaksikan. Seperti tontonan gratis yang harus di saksikan dan sayang kalau dilewatkan.
Dua orang itu yang merupakan suami istri itu, terus bertengkar. Mereka tak peduli wajah malu kedua anaknya dan kedua orangtua mereka yang baya itu. Bahkan kedua anak mereka terus terisak menangis sambil berteriak berhenti! Pada ayah dan ibu mereka. Tapi bagi sang ayah dan ibu, jeritan anaknya hanya suara angin yang berhembus lalu menghilang.
“Dia harus tahu semuanya.” teriak si suami.
“Tidak! Ia tidak boleh tahu. Apa kau ingin menyakiti hatinya?” teriak si istri yang tak mau kalah kerasnya dari suaminya.
“Tapi ia sudah besar. Ia bisa menilai mana yang benar dan mana yang salah.”
“Tapi bukan sekarang!”
“Kapan?! Kapan lagi kau terus menutupi kebenaran tentangnya. Kapan lagi kau akan terus membohonginya? Ia sudah tujuh belas tahun dan biarkan ia memilih kehidupannya.”
“Tapi kita harus menunggu waktu yang tepat!”
“Kapan?! Sampai Rena tahu dari orang lain, kalau ia bukan anakku! Ia anak hasil luar nikah. Bahwa ayah kandungnya meninggalkannya saat ibunya tengah mengandung dirinya. Hingga membuat keluarganya tercoreng di mata masyarakat, karena aib yang ditanggungnya. Dan untungnya ada aku, ayah yang ia kira ayah kandungnya. Menikahi ibunya dan memberi status padanya.”
“Kak Rena!” seru anak laki-laki yang merupakan anak bungsu mereka.
Seketika dua orang itu menatap ke arah pintu, arah di mana anak laki-laki itu memanggilnya diikuti dengan yang lainnya.
Dua orang itu tertegun. Terlihat wajah yang ketakutan dan cemas.
“Rena!” seru seorang wanita separuh baya yang semalam membelai dan mengusap pipiku. Yang semalam menasehatiku dengan perasaanku tentang kebahagiaan. Wajah keriput yang semalam memberikan kasih sayangnya padaku, yang selama ini tak kudapatkan dari orangtuaku sendiri.
“Rena!” pekik sang istri yang tak lain adalah ibuku.
Aku bingung.
Aku terperanjat.
Aku syok. Aku sedih.
Aku marah.
Semua rasa itu bercampur menjadi satu kesatuan yang tak bisa dijelaskan bagaimana rasanya.
Aku bingung harus berbuat apa, sampai aku tak bisa menghapus air mataku yang deras membanjiri pipiku. Aku mematung dalam seribu rasa yang menghujam hatiku. Bibirku kelu untuk berkata. Berteriak pun tidak. Hanya diam berdiri sambil memandang pada ayah ibu tanpa berkedip dan terus menitikan air mata.
Setelah cowok di sampingku memegang tangan kiriku dan meremasnya, barulah aku tersadar. Bisa kukendalikan diriku dan otakku langsung meresponku untuk melakukan tindakan selanjutnya.
Berbalik dan keluar dari tempat itu adalah jalan yang kupilih. Diikuti cowok itu.
Di halaman restaurant, cowok itu menarik lenganku. Ia membalikkan tubuhku lalu membawanya ke dadanya.
Aku menangis dalam pelukannya. Tak ada rasa malu menghinggapiku. Hanya rasa nyaman yang aku butuhkan saat ini.
Aku butuh sebuah penjelasan atas kejadian ini. Mimpi atau nyata?!
Ayah dan ibu begitu juga kedua Eyang dan kedua adikku mengejarku dan berhenti di depan pintu.
Mereka diam sambil memandang ke arahku yang tengah dipeluk seorang cowok yang tak mereka kenal.
“Rama!”
Cowok itu melepaskan pelukannya begitu mendengar namanya di panggil seseorang.
“Ayah!” seru cowok di sampingku.
“Diro!” Seru ibuku disertai tanda tanya di setiap wajah yang tengah menyaksikan.
“Mira!” Orang yang disebut ayah oleh Rama terlihat kaget. “Kau ada disini? Kudengar kau sudah menikah.”
“Iya. Aku memang sudah menikah. Ini suamiku dan ini anak-anak kami.” Jawab ibuku tanpa menoleh padaku
Aku merasakan sakit yang luar biasa. Luka yang selama ini mereka semai tak sebanding luka yang saat ini mereka hujamkan. Aku ingin berteriak. Aku ingin protes. Kenapa hanya aku yang tak disebut anak olehnya.
“Mira!” seru Eyang pada ibuku sambil menunjuk ke arahku dengan dagunya.
“Oh ya, aku sampai lupa. Kenalkan dia Rena, putriku… juga putrimu.”
Tak terllihat kekagetan di wajah ayah Rama, begitu pula dengan Rama itu sendiri.
Ayah Rama menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya mengusap kepalaku. Ada rasa haru di matanya. Tapi bagiku, itu seperti bukan rasa haru tapi rasa menghina.
“Kau sudah besar, ya. Dulu aku hanya bisa melihatmu di perut ibumu. Dan hanya melihatmu dari setiap potret yang ibumu kirimkan. Dari dulu, Rama ingin sekali melihatmu. Melihat adik perempuannya yang cantik.”
Kembali aku menitikkan air mata. Bukan air mata terharu atau senang, tapi air mata kepedihan.
Aku merasa dibohongi. Selama ini, aku hidup dalam kebohongan di balik kebenaran yang tersimpan. Mereka sudah tahu. Dan mereka menyembunyikan fakta dariku.
“Apa ini?!” tanyaku dengan suara serak yang hampir mirip bisikan.
“Sayang, maafkan mama. Selama ini, mama tidak mengatakannya padamu. Padahal mama memberitahu semua tentangmu pada papa kandungmu.” terang mama dengan deraian air mata.
Aku menunduk lemah, memejamkan mataku sejenak. Berharap saat aku membuka mata kembali ini hanya mimpi buruk belaka.
Tapi pikiran itu tak membantu. Kenyataan, suara mereka masih terdengar jelas. Dan aku masih berada dalam mimpi burukku yang ternyata adalah sebuah kenyataan pahit.
‘Bukan ini yang ku mau. Bukan!!!’ Hatiku menjerit. Aku menggeleng lemah dengan cucuran air mata yang terus membanjir.
Kurasakan tangan Rama kembali memegang tanganku dan meremasnya. Seketika itu, aku langsung menarik tanganku dan berbalik. Lalu berlari meninggalkan tempat itu.
Aku terus berlari. Berharap menjauh dari tempat itu. Sesekali air mataku berterbangan.
Hatiku terlalu sakit untuk mendengar dan melihat semuanya. Tanganku terlalu gemetar menerima uraian tangan penuh kebohongan.
Aku masih berlari dan terus berlari. Menyusuri jalan-jalan dengan tatapan orang-orang yang penuh tanya di benak mereka.
Aku tak mempedulikan mereka. Aku terus berlari dan berlari. Aku hanya ingin membuang semua luka yang menjatuhi hatiku.
Aku terus berlari dan menangis tanpa memperhatikan langkahku dan jalan, sampai aku tak menyadari sebuah mobil hitam melaju dengan kencangnya dan menuju ke arahku.
Sepintas aku menoleh ke arah mobil. Hanya silau lampu bagian depan mobil yang sempat terlihat oleh mataku. Aku berhenti berlari. Diam menatap silau lampu mobil dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap.
Sempat aku merasa tubuhku terjatuh dan terpelanting beberapa lama, sampai akhirnya tubuhku terhenti berguling, saat kurasakan kepalaku membentur aspal dengan keras. Aku merasakan sakit, tapi itu sementara. Setelah itu aku tak merasakan apa-apa lagi. Kecuali gelap yang kulihat. Sampai-sampai tak bisa kulihat jari-jari tanganku sendiri.
‘Disinikah akhir hidupku? Berakhir seperti inikah? Berakhir dengan jawaban yang tak memuaskan? Berakhir tanpa senyum yang selalu kunanti?’
Kemudian hanya gelap yang mencekam penglihatanku.
Gelap…
Gelap…
Gelap…
Gelap…
Gelap…
- The End ~
Cerpen Karangan: Mia
Facebook: www.facebook.com/der.laven3
Cr: cerpenmu.com
Samar-samar aku melihat sosok wajah teduh dari balik bayangan titik-titik hujan yang mengguyur deras. Sosok wajah teduh itu berlari kecil sambil kedua tangannya memegang tas yang memayungi kepalanya dari hujan.
Itu tak membantu, tapi itu seperti menghibur dirinya bahwa ia bisa terhindar dari guyuran hujan. Kenyataan, tubuhnya tetap basah kuyup karena hujan.
Wajahnya basah. Keringat dan air hujan menyatu. Ia tetap berlari ke tempatku. Dimana tempatku yang bisa menjadi tempatnya untuk berlindung dari hujan.
Nafasnya tersengal-sengal. Tangannya terus mengelap kulitnya yang basah. Tapi itu percuma, karena yang dilakukannya takkan membuat kulitnya kering.
Bajunya basah kuyup. Ia menggigil. Sambil memandang ke arah jalan di depan kami, ia terus mendekapkan kedua tangannya untuk menghangatkan tubuhnya.
Aku terusik dengan kehadirannya. Aku merasa tak nyaman ia berada di sampingku. Aku kikuk melihatnya terus diam tanpa bersuara.
Sempat terlintas dalam pikiranku. Aku mendekatinya. Lalu mengelap wajahnya yang basah dengan sapu tanganku yang masih kering. Dan memberikan jaketku untuk menghangatkan tubuhnya.
Tapi kuurungkan niat itu. Aku memilih diam di tempatku dan menundukan kepalaku sambil menunggu hujan reda. Aku menutup telingaku, menutup mataku. Dan juga tetap mengunci pintu hatiku rapat-rapat.
—
Malam yang dingin hampir membekukanku. Kurapatkan jaketku untuk menahan rasa dingin.
Satu jam yang lalu, ayah menyuruhku untuk pergi ke rumah Eyang. Bukan untuk liburan atau pun menengok. Melainkan untuk tinggal sementara di sana.
“Kau tak mungkin tinggal sendirian di rumah. Sedangkan ayah dan ibu pergi bersama adik-adikmu. Nanti kalau ada apa-apa denganmu, kami juga yang repot. Sebaiknya kau pergi ke rumah Eyang saja.” kata ayah.
Bukannya aku tak mau ikut. Tapi kenyataan, ayah tak mengajakku, begitu pula dengan ibuku.
Aku tak pernah menyalahkan mereka. Atau pun membenci mereka. Aku tetap sayang pada mereka.
Aku duduk diam di dalam bus yang memang penumpangnya sedikit. Sesekali mataku memandang jendela. Kulihat tetesan-tetesan air menempel di kaca jendela. Bukan air hujan, tapi karena udara malam sangat dingin yang menimbulkan titik–titik embun.
Jalan yang mulai sepi. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Lampu-lampu jalan menyala seperti bintang penghias malam.
Aku masih terjaga dalam diam. Tak ingin memejamkan mata sedetik pun.
Kubiarkan mataku menyapu puas pemandangan malam ini. Membiarkan semuanya terekam dalam memori otakku. Bus berhenti di pemberhentian berikutnya. Tak banyak yang naik, hanya beberapa yang ikut.
Sepintas aku melihat sosok cowok yang tengah menaiki bus. Ia tak asing bagiku. Aku seperti mengenalnya, tapi aku tak ingat.
Kualihkan kembali pandanganku ke luar jendela. Menikmati sisa malam yang begitu dingin hingga menusuk tulang-tulangku.
Sudah berapa lama bus melaju, aku tak menyadarinya. Hingga membuatku bosan. Mataku mulai mengantuk. Penyakit malam mulai menyerang diriku.
Perlahan kusandarkan wajahku ke jendela. Memejamkan mata, menyambut alam mimpiku. Hingga tanpa kusadari, seseorang duduk di sebelah kananku.
Aku bermain-main dengan mimpiku. Seperti tubuhku terseret ombak yang menggulung besar. Dan aku terombang-ambing di tengahnya tanpa bisa berenang kembali ke tepian pantai. Aku terlanjur terbawa ombak hingga terseret arus ke tengah samudera yang dalam.
Dalam mimpiku atau bukan, aku merasakan kepalaku disentuh seseorang. Dibawanya ke bahunya sambil tangannya dilingkarkan ke bahuku.
Aku tak menolak, bahkan menghindarinya. Seperti ditarik magnet yang sangat kuat. Membuat siluet yang tak mudah untuk dilepaskan.
Tangan kirinya membelai kepalaku. Aku merasakan seperti tetesan embun yang jatuh ke ubun-ubunku. Merasuk ke dalam tubuhku. Menyebar, menciptakan salju-salju putih di dalamnya.
Tangan kanannya membelai pipi kananku. Seperti panas matahari yang menyinari tumbuh-tumbuhan. Seperti itulah panas yang kurasakan di tubuhku. Menumbuhkan bunga-bunga kecil di setiap jalan yang dilewatinya.
Aku merasa seperti tertidur di atas ayunan di tengah hamparan rerumputan di tengah musim panas. Wajahku yang terlelap dihunjami sinar matahari pagi yang menyejukkan. Sesekali mataku mengernyit karena silau oleh cahaya.
Aku tak ingin bangun. Aku tak ingin mimpi indah itu lenyap, begitu aku terjaga. Aku ingin terlelap terus dengan kehangatan cahaya-Nya.
Bruk!
Aku terjaga, oleh goyangan bus yang sepertinya menabrak sesuatu. Seketika aku memegangi kepalaku yang terasa pusing.
“Kamu tidak apa-apa?”
Aku menoleh ke sebelahku. Seketika aku tertegun menatap wajah teduh di sampingku. Lama aku menatapnya. Seperti ada duri yang menusuk dadaku. Rasanya sakit sekali.
Ia mengernyitkan dahinya. Memaksaku kembali dari lamunanku. ”Tidak. Aku tidak apa-apa.” ucapku pendek.
Kualihkan kembali pandanganku ke jendela. Menahan rasa pening di kepalaku, sepertii ditusuk-tusuk beribu-ribu paku. Terlebih dengan rasa nyeri yang ngilu di dadaku. Sakit sekali seperti tertimpa batangan logam yang berat.
Kutajamkan telingaku. Mencoba memperhatikan gerak-gerik cowok di sampingku. Hening. Tak ada suara. Sepertinya ia tertidur. Karena sekarang sudah larut malam. Dan sepanjang malam itu, aku tak bisa lagi tertidur dengan pulas.
—
Kubiarkan langkah kakiku membawa kemana ia mau. Menyusuri pusat kota yang ramai. Melihat orang-orang yang berlalu lalang. Terdengar suara yang memekikkan telingaku. Hampir-hampir aku berteriak pada mereka untuk diam. Namun bibir ini tetap membeku dalam kesendirian yang membuatku sepi.
Sudah satu minggu, aku tinggal di rumah Eyang, kota kelahiran ibu. Namun tak ada satu pun dari ayah dan ibu meneleponku sekedar menanyakan keadaanku.
Aku merasakan perih di hatiku. Mengingat mereka melupakan aku. Mereka lebih memilih bersenang-senang dengan kedua adikku.
Dari dulu, mereka selalu mengasingkanku. Dan aku tak tahu kenapa mereka melakukan itu terhadapku.
Aku masih berjalan gontai. Tak ada satu pun tempat yang ingin ku kunjungi. Hanya ingin melelahkan kakiku saja, lalu pulang ke rumah Eyang.
“Sepertinya matahari bersinar dengan sempurnanya. Tapi kenapa ada awan mendung disini ya?”
Kupalingkan wajahku ke belakang selepas mendengar sebuah suara yang tak asing di telingaku.
Aku berdiam diri memandangnya tak percaya. Mungkinkah aku tengah bermimpi? Tanyaku dalam hati.
“Hallo! Kok bengong sih?” Cowok itu melambaikan tangannya di depan wajahku.
Aku memandangnya dengan membisu. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Bukannya tak ada, tapi tak ingin.
Aku mengangguk. Lalu kembali berjalan. Cowok itu setengah berlari untuk melangkah berjejer di sampingku.
Kami saling diam. Kaki terus melangkah menyusuri tepian jalan. Asyik mendengarkan suara bising. Seperti suara kecapi yang dipetik.
“Kau suka diam ya?”
Aku menoleh. Menatapnya dari samping. Ada sesuatu yang mengganggu hatiku. Kualihkan kembali pandangan ke depan, lalu menggeleng lemah.
“Tidak.” Ucapku lirih hampir berbisik.
“Sebaiknya kita berpisah di sini. Kukira kau akan lurus.” Aku baru sadar kalau kami sudah berada di persimpangan jalan. Dan yang dikatakannya benar. Aku akan berjalan lurus untuk pulang ke rumah Eyang.
Aku diam di tempatku. Menatapnya berjalan belok. Memandang punggungnya yang bidang berjalan pergi.
—
Sinar bulan tak sebenderang dulu. Cahayanya kian meredup seiring waktu yang mengikisnya. Awan mendung menari indah di depan bulan. Tertawa menghina. Karena bulan tak lagi memberi sinarnya pada malam.
Klek!
Terdengar suara pintu dibuka. Aku yang tengah berdiri di dekat jendela sambil menyandarinya langsung menoleh seketika mendengar suara langkah kaki memasuki kamar sederhana yang kutempati di rumah Eyang.
Kulihat Eyang Putri berjalan tergopoh mendekatiku.
“Rupanya kau belum tidur.” suara serak Eyang kembali mengingatkanku pada masa kanak-kanakku.
“Eyang. Kenapa Eyang belum tidur?”
Aku mendekati Eyang dan memapahnya ke tepian tempat tidur.
“Kau belum ngantuk nduk?”
Tangan keriputnya mengusap pipi kiriku. Kebiasaan yang semanjak kecil ia lakukan padaku. Kebiasaan yang membuatku merasa seperti berada di awan.
“Belum Eyang. Belum ngantuk.” jawabku sekenanya. Berusaha menyembunyikan perasaanku. Namun aku keliru pada orang yang satu ini. Ia tak mudah di kelabui. Ia terlalu mudah mengetahui perasaan orang lain, sampai tak ada satu rahasia pun yang bisa disembunyikan darinya.
“Kenapa murung? Ada pikiran yang mengganggumu?”
Wanita baya itu menatapku dengan sorotan menusuk.
“Tidak. Tidak sekarang Eyang. Aku belum siap.” jawabku lemah. Tak lagi memandangnya. Aku lebih memilih memainkan jariku, mengaitkannya lalu di lepaskan. Seperti itu berulang-ulang.
Tangan kasar Eyang menarik tangan kiriku dan membawanya ke pangkuannya. Lalu menggosok-gosokannya dengan lembut.
“Kalau belum siap, tidak apa-apa nduk. Cuma satu pesan Eyang. Jangan kau simpan perasaanmu. Jika suka ya bilang suka. Jika tidak ya tidak. Jangan kau tidak suka, tapi bilang suka. Dan satu hal lagi, raihlah bahagiamu. Sudah saatnya kau mendapatkannya.”
Eyang bangkit dari duduknya dan menundukkan kepalanya, lalu mencium keningku.
Aku duduk terdiam sambil memandang kepergian eyang
Mungkinkah ini saatnya aku mendapatkan kebahagiaanku, batinku berbicara.
Aku bimbang. Dadaku bergejolak. Hatiku gamang. Jiwaku melemah.
Selama ini aku berpura-pura aku baik-baik saja. Tapi hatiku terluka selama ini aku berpura-pura tersenyum, padahal hatiku menangis. Selama ini aku berpura-pura mengalah, padahal hatiku ingin menang.
‘Haruskah wajah baru mengganti wajah lama yang terrlihat menurut? Ataukah topeng itu akan terus kukenakan sampai akhir nafasku?’
—
Bunga bermekaran di tengah musim gugur. Hujan turun di musim panas. Dan daun berguguran di musim hujan.
Matahari bersinar di tengah malam yang menyelimuti hati. Menyilaukan sinarnya pada pandangan yang tak biasa terang.
Mereka menutup mata mereka dengan sinarnya karena terlalu silau. Mereka berpaling dan memilih kegelapan menjadi background kehidupan mereka. Menyusuri jalan yang sebenarnya berduri. Tapi mereka tak menghiraukan. Tak peduli karena tak terlihat oleh mata mereka.
“Pagi!”
Aku menoleh pada sosok cowok yang tengah berdiri di hadapanku. Ia ikut duduk di sampingku yang tengah membaca novel.
“Asmara yang menghilang!” ucapnya sambil menatap cover novel yang kupegang. “Bagus kok ceritanya. Aku juga suka.” katanya sambil tersenyum memandang anak-anak kecil yang tengah berlarian di rerumputan di depan kami.
Aku ikut memandang pada arah anak-anak kecil yang tengah asyik bermain. Mereka seperti malaikat kecil yang tertawa lepas di tengah kebahagiaan. Aku mengingat kembali masa kecilku. Dimana masa kanak-kanakku yang bahagia bersama Eyang. Tak ada ikut campur tangan ayah dan ibu. Semenjak kecil, aku diasuh Eyang. Hanya satu bulan sekali atau saat liburan saja ayah dan ibu menengokku. Membawaku pulang ke rumah.
Di rumah, aku hanya dijadikan boneka hiasan mereka saja. Mereka terlalu sibuk mencurahkan kasih sayang mereka pada kedua adik-adikku. Bahkan sampai usiaku menginjak tujuh belas tahun. Mereka masih menganggapku hanya benalu di antara mereka yang harus cepat-cepat dibersihkan.
Mereka menyemai luka padaku sejak kecil. Sejak aku belum tahu apa-apa. Dan sekarang, mereka masih melakukannya. Menyemai banyak luka di hatiku. Sampai tempat di hatiku tak lagi muat untuk luka itu.
“Kau lapar?” tanyanya lembut. “Ayo ikut! Kau pasti suka!”
Tanpa menunggu jawaban dariku, tangannya langsung menarik lenganku dan membawaku ke parkiran motor.
Ia mengambil helm dan memakainya, lalu menaiki motornya dan menyuruhku naik. Dengan enggan, aku membonceng ke motornya.
“Pegang yang kencang!” serunya setelah motornya melaju.
Kuikatkan tanganku pada pinggangnya.
Beberapa menit kemudian, kami berhenti di sebuah restaurant Jepang. Aku sempat menatap ragu pada restaurant di depanku. Ragu untuk memasukinya.
Ada rasa yang tak enak mengerumuni perasaanku. Membuatku pusing.
“Ayo masuk! Apa kau akan berdiri terus di situ sambil menatap restaurant itu?”
Laki-laki itu menarikku. Melingkarkan tangannya ke punggung leherku. Dan kami memasuki restaurant itu.
Saat pintu restaurant dibuka, bukan aroma masakan Jepang yang lezat yang kucium. Tapi aroma pertengkaran seorang pria dan wanita di dalam restaurant. Entah apa yang diributkan mereka. Tapi mereka telah berhasil menarik perhatian pengunjung lain.
Pertengkaran dua orang itu memaksaku berhenti begitu pula dengan cowok di sampingku. Pertengkaran itu tak diusahakan untuk dilerai atau berhenti. Semua orang hanya diam menyaksikan. Seperti tontonan gratis yang harus di saksikan dan sayang kalau dilewatkan.
Dua orang itu yang merupakan suami istri itu, terus bertengkar. Mereka tak peduli wajah malu kedua anaknya dan kedua orangtua mereka yang baya itu. Bahkan kedua anak mereka terus terisak menangis sambil berteriak berhenti! Pada ayah dan ibu mereka. Tapi bagi sang ayah dan ibu, jeritan anaknya hanya suara angin yang berhembus lalu menghilang.
“Dia harus tahu semuanya.” teriak si suami.
“Tidak! Ia tidak boleh tahu. Apa kau ingin menyakiti hatinya?” teriak si istri yang tak mau kalah kerasnya dari suaminya.
“Tapi ia sudah besar. Ia bisa menilai mana yang benar dan mana yang salah.”
“Tapi bukan sekarang!”
“Kapan?! Kapan lagi kau terus menutupi kebenaran tentangnya. Kapan lagi kau akan terus membohonginya? Ia sudah tujuh belas tahun dan biarkan ia memilih kehidupannya.”
“Tapi kita harus menunggu waktu yang tepat!”
“Kapan?! Sampai Rena tahu dari orang lain, kalau ia bukan anakku! Ia anak hasil luar nikah. Bahwa ayah kandungnya meninggalkannya saat ibunya tengah mengandung dirinya. Hingga membuat keluarganya tercoreng di mata masyarakat, karena aib yang ditanggungnya. Dan untungnya ada aku, ayah yang ia kira ayah kandungnya. Menikahi ibunya dan memberi status padanya.”
“Kak Rena!” seru anak laki-laki yang merupakan anak bungsu mereka.
Seketika dua orang itu menatap ke arah pintu, arah di mana anak laki-laki itu memanggilnya diikuti dengan yang lainnya.
Dua orang itu tertegun. Terlihat wajah yang ketakutan dan cemas.
“Rena!” seru seorang wanita separuh baya yang semalam membelai dan mengusap pipiku. Yang semalam menasehatiku dengan perasaanku tentang kebahagiaan. Wajah keriput yang semalam memberikan kasih sayangnya padaku, yang selama ini tak kudapatkan dari orangtuaku sendiri.
“Rena!” pekik sang istri yang tak lain adalah ibuku.
Aku bingung.
Aku terperanjat.
Aku syok. Aku sedih.
Aku marah.
Semua rasa itu bercampur menjadi satu kesatuan yang tak bisa dijelaskan bagaimana rasanya.
Aku bingung harus berbuat apa, sampai aku tak bisa menghapus air mataku yang deras membanjiri pipiku. Aku mematung dalam seribu rasa yang menghujam hatiku. Bibirku kelu untuk berkata. Berteriak pun tidak. Hanya diam berdiri sambil memandang pada ayah ibu tanpa berkedip dan terus menitikan air mata.
Setelah cowok di sampingku memegang tangan kiriku dan meremasnya, barulah aku tersadar. Bisa kukendalikan diriku dan otakku langsung meresponku untuk melakukan tindakan selanjutnya.
Berbalik dan keluar dari tempat itu adalah jalan yang kupilih. Diikuti cowok itu.
Di halaman restaurant, cowok itu menarik lenganku. Ia membalikkan tubuhku lalu membawanya ke dadanya.
Aku menangis dalam pelukannya. Tak ada rasa malu menghinggapiku. Hanya rasa nyaman yang aku butuhkan saat ini.
Aku butuh sebuah penjelasan atas kejadian ini. Mimpi atau nyata?!
Ayah dan ibu begitu juga kedua Eyang dan kedua adikku mengejarku dan berhenti di depan pintu.
Mereka diam sambil memandang ke arahku yang tengah dipeluk seorang cowok yang tak mereka kenal.
“Rama!”
Cowok itu melepaskan pelukannya begitu mendengar namanya di panggil seseorang.
“Ayah!” seru cowok di sampingku.
“Diro!” Seru ibuku disertai tanda tanya di setiap wajah yang tengah menyaksikan.
“Mira!” Orang yang disebut ayah oleh Rama terlihat kaget. “Kau ada disini? Kudengar kau sudah menikah.”
“Iya. Aku memang sudah menikah. Ini suamiku dan ini anak-anak kami.” Jawab ibuku tanpa menoleh padaku
Aku merasakan sakit yang luar biasa. Luka yang selama ini mereka semai tak sebanding luka yang saat ini mereka hujamkan. Aku ingin berteriak. Aku ingin protes. Kenapa hanya aku yang tak disebut anak olehnya.
“Mira!” seru Eyang pada ibuku sambil menunjuk ke arahku dengan dagunya.
“Oh ya, aku sampai lupa. Kenalkan dia Rena, putriku… juga putrimu.”
Tak terllihat kekagetan di wajah ayah Rama, begitu pula dengan Rama itu sendiri.
Ayah Rama menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya mengusap kepalaku. Ada rasa haru di matanya. Tapi bagiku, itu seperti bukan rasa haru tapi rasa menghina.
“Kau sudah besar, ya. Dulu aku hanya bisa melihatmu di perut ibumu. Dan hanya melihatmu dari setiap potret yang ibumu kirimkan. Dari dulu, Rama ingin sekali melihatmu. Melihat adik perempuannya yang cantik.”
Kembali aku menitikkan air mata. Bukan air mata terharu atau senang, tapi air mata kepedihan.
Aku merasa dibohongi. Selama ini, aku hidup dalam kebohongan di balik kebenaran yang tersimpan. Mereka sudah tahu. Dan mereka menyembunyikan fakta dariku.
“Apa ini?!” tanyaku dengan suara serak yang hampir mirip bisikan.
“Sayang, maafkan mama. Selama ini, mama tidak mengatakannya padamu. Padahal mama memberitahu semua tentangmu pada papa kandungmu.” terang mama dengan deraian air mata.
Aku menunduk lemah, memejamkan mataku sejenak. Berharap saat aku membuka mata kembali ini hanya mimpi buruk belaka.
Tapi pikiran itu tak membantu. Kenyataan, suara mereka masih terdengar jelas. Dan aku masih berada dalam mimpi burukku yang ternyata adalah sebuah kenyataan pahit.
‘Bukan ini yang ku mau. Bukan!!!’ Hatiku menjerit. Aku menggeleng lemah dengan cucuran air mata yang terus membanjir.
Kurasakan tangan Rama kembali memegang tanganku dan meremasnya. Seketika itu, aku langsung menarik tanganku dan berbalik. Lalu berlari meninggalkan tempat itu.
Aku terus berlari. Berharap menjauh dari tempat itu. Sesekali air mataku berterbangan.
Hatiku terlalu sakit untuk mendengar dan melihat semuanya. Tanganku terlalu gemetar menerima uraian tangan penuh kebohongan.
Aku masih berlari dan terus berlari. Menyusuri jalan-jalan dengan tatapan orang-orang yang penuh tanya di benak mereka.
Aku tak mempedulikan mereka. Aku terus berlari dan berlari. Aku hanya ingin membuang semua luka yang menjatuhi hatiku.
Aku terus berlari dan menangis tanpa memperhatikan langkahku dan jalan, sampai aku tak menyadari sebuah mobil hitam melaju dengan kencangnya dan menuju ke arahku.
Sepintas aku menoleh ke arah mobil. Hanya silau lampu bagian depan mobil yang sempat terlihat oleh mataku. Aku berhenti berlari. Diam menatap silau lampu mobil dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap.
Sempat aku merasa tubuhku terjatuh dan terpelanting beberapa lama, sampai akhirnya tubuhku terhenti berguling, saat kurasakan kepalaku membentur aspal dengan keras. Aku merasakan sakit, tapi itu sementara. Setelah itu aku tak merasakan apa-apa lagi. Kecuali gelap yang kulihat. Sampai-sampai tak bisa kulihat jari-jari tanganku sendiri.
‘Disinikah akhir hidupku? Berakhir seperti inikah? Berakhir dengan jawaban yang tak memuaskan? Berakhir tanpa senyum yang selalu kunanti?’
Kemudian hanya gelap yang mencekam penglihatanku.
Gelap…
Gelap…
Gelap…
Gelap…
Gelap…
- The End ~
Cerpen Karangan: Mia
Facebook: www.facebook.com/der.laven3
Cr: cerpenmu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar