thanks for visiting,come back soon for more:)

Kamis, 27 Februari 2014

Surat Tinta Merah


Surat itu masih terdiam membisu tanpa kata keluar darinya, tergolek lemas diam di atas meja, tanpa ada yang mau menyentuhnya, Aku pun enggan memegangnya apalagi membacanya. Aku benci dia.

Pagi hari sebelum keberangkatanku meninggalkan daerah yang sangat ku cintai ini, sudah nampak jelas di wajahku, Aku malas pergi ke Cianjur. Aku sudah teramat nyaman dengan tanah yang aku
tapaki sejak kecil, Kudus kota kretek membuatku rindu pada almarhum nenek, Yah! Beginilah setelah nenek meninggal aku harus segera menyusul Ibu untuk tinggal di Cianjur, tepatnya daerah asal usul bapakku. Sebagai anak yang paling kecil aku hanya harus menurut apa saja yang di pilih Ibu untuk hidupku, Ya walau aku juga harus mengorbankan kehidupan SMP ku untuk ku pindah di Cianjur, Aku harus meretas harapan Ibu ku yang selalu ingin aku ini menjadi orang sukses seperti abangku yang sudah malang melintang mencari nafkah untuk keluarga. Mas Amdar, abangku yang sangat aku bangga-banggakan. Dia bisa menggantikan tugas bapakku yang terlampau salah menapak jalan.
Fina, bukan satu satunya sahabatku yang sedih akan keberangkatanku meninggalkan Kudus nanti sore. Aku putuskan pagi itu aku berkeliling bersama Fina dengan sepeda ontel peninggalan almarhum kakek, Aku sangat semangat sekali dan sambil bernostalgia dengan Fina dengan masa-masa yang sudah terlewatkan.
“Wan, Aku kayaknya bakal kangen banget sama kamu lho Wan.” Ucapnya sambil menyusul laju sepedaku yang sedikit mendahuluinya
“Halah, nggak usah kayak gitu, toh masih bisa komunikasi lewat surat to? Atau malah suatu hari nanti dunia makin canggih, siapa tau kita bakal gampang komunikasi yo?”
“Amin yo Wan, oya Wan inget nggak? Dulu Pak Kodir selalu aja, negur kita gara-gara kita selalu hampir telat masuk gerbang sekolah?” Nostalgia Fina
“Iya Fin aku masih inget, itu kan hampir tiap hari kita begitu kelakuannya? yo to? Lagian kita yang aneh juga, udah tau bawa sepeda eh malah di tuntun sambil jalan, gimana nggak telat?”
Kami pun tertawa, mengingat betapa polosnya kami setiap hari menghadapi Pak Kodir satpam SMP ku. Aku tertawa senang bersamanya, mungkin tawa itu akan langka ku dapat lagi, tawa dari mulut Fina, sahabat setiaku di Kudus. Aku selalu menghela nafas seperti rasa sedih tetapi bercampur amarah, sangat sulit dijelaskan, itu ku lakukan setiap kali ingat di sepanjang perjalanan menyusuri rumah ke rumah teman-temanku untuk ku pamiti. Fina selalu saja membuatku mrebes mili, sampai sesulit ini ya meninggalkan bagian hidup yang telah lama ku tapaki, Kudus Oh Kudus.
Pagi berubah jadi siang lalu siang berubah jadi sore, Sore dan perpisahan akhirnya datang, Ku hirup nafas panjang lalu melepasnya dengan lega dan ku ucap basmallah meninggalkan tempat kelahiranku. Kudus mungkin akan menyimpan segala kenangan masa kecilku bersama orang-orang yang ku cintai, aku berjanji setiap ada kesempatan aku ingin kembali ke Kudus.
“Fin, komunikasi kita jangan sampai putus yo?” ku berteriak dengan suaraku yang parau karena sambil menangis terharu. Fina dan beberapa kerabatku melepas kepergianku bersama abangku Mas Amdar yang menjemputku dari Cianjur. Ibu sengaja tak ikut dengan Mas Amdar, katanya takut sedih melihat perpisahanku dengan Kudus. Ibu ku pernah bilang denganku bila 100 hari nenek sudah berlalu, Maka aku harus bersiap menuju kehidupan baru di Cianjur. Hari ternyata sama cepatnya dengan cahaya ku rasakan begitu. Kenapa perpisahan selalu ada? Agar kita bisa menghargai pertemuan yang digariskan oleh-Nya, Subhanallah
Mas Amdar dan aku berangkat ke terminal sore itu dan baru pada maghribnya bus tujuan Kudus-Cianjur hadir juga, untung saja beberapa waktu sebelumnya Mas Amdar mengajakku untuk menjamak sholat Isya’ dan Maghrib di mushola terminal. Sehingga keberangkatan kami senantiasa tenang kerena sudah melaksanakan kewajiban.
Tengah malam kami sudah sampai di Karang Anyar itu berarti tak lama lagi kami sampai di Cianjur. Rasanya sangat ingin sekali segera sampai dan memeluk hangatnya kasih sayang ibuku. Dan akhirnya sudah di perkirakan pada saat adzan Subuh Aku dan Mas Amdar sudah sampai di rumah. Ibu sudah bersiap menyambut kedatanganku, dan betapa senangnya aku memeluk Ibuku itu.
“Buk Cianjur ndak berubah ya?” tanyaku
“memang ndak ada Wanda, yang rubah itu cuma bapakmu.” ucap Ibuku sambil setengah bercanda
“Stt ah, mbok jangan ngomongin orang itu, kita kan baru sampai to bu… bu..” Ucap Mas Amdar memotong bincangku bersama Ibu.
“Yo wes lah, Kalian baiknya sholat subuh dulu lalu tidur, nanti kalau sudah bangun jangan lupa langsung mandi ya” Suruh ibuku
“Iya bu.”
Aku membawa koper besar yang penuh barang-barangku ke kamar yang berada di sebelah kamar Ibuku, Leganya bisa selamat sampai tempat tujuan. Dan di Cianjur semuanya di mulai dengan sama biasanya seperti di Kudus. Oya! Sekolah. Mas Amdar sudah mengurusi kepindahan sekolahku di sebuah sekolah SMP di Cianjur, dan di sana aku benar-benar harus beradaptasi dengan kerasnya, wong sudah jelas adat istiadatnya, bahasanya, sampai sikap orang-orangnya saja bertautan jauh dengan tempat kelahiranku.
Seperti biasa aku menghela nafas panjang sebelum melaksanakan suatu hal yang baru saja aku mulai, setelah dua hari menganggur tetapi tak sepenuhnya menanggur karena aku sibuk mempersiapkan keperluan sekolah untuk ku pakai di SMP baruku nanti, mulai belanja seragam sekolah sampai tetek bengek kaos kaki dan hal yang paling kecil dan besar sibuk ku persiapkan bersama ibuku, Kebetulan Mas Amdar sudah kembali bekerja ke Kalimantan, jadi Ibu sangat kesusahan dengan ku yang selalu merepotkannya. Untung saja makhluk yang satu ini adalah makhluk yang selalu tidak kentara bila mengeluh, atau bahkan bisa di bilang dia tak pernah mengeluh. Aku sayang Ibu ku selamanya.
Sampai malam tiba aku masih sibuk mempersiapkan apa-apa saja yang harus ku kenakan dan ku bawa untuk bersekolah di hari pertama di sekolah baruku. Akhirnya ibuku mengomeliku untuk segera berangkat ke alam mimpi agar esoknya tidak kesiangan.
Pagi hari yang indah sejak subuh aku sudah bangun dan bersiap beranjak pergi ke sekolah, bahkan aku tak sama sekali minta di temani ibuku ke sekolah baruku karena memang keberadaan sekolah itu sudah lama di tunjuk ibu saat sepulang dari berbelanja di pasar, sehingga aku tahu pasti keberadaan sekolah itu.
Ku hela nafas lagi, mungkin terlalu banyak aku mengeluh hingga beribu helaan nafas ku hembuskan. Beginilah nasib anak baru, sejak aku masuk dari gerbang sampai ke kantor sekolah aku terus saja dipandangi, Aku sangat risih di tatap heran oleh banyak orang penghuni sekolah itu karena seragamku berbeda dari seragam yang mereka kenakan. Aku cukup lama menunggu wali kelasku datang menjemputku di depan kantor. Hingga akhirnya bel pun berbunyi, aku mulai sedikit lega, tatapan itu tak kudapati lagi. Sampai akhirnya Ibu Wiwin mengajakku ke kelasku. Jantungku berdegup kencang sekencang lari kuda di tempat balapan. Aku mengikuti Bu Wiwin dari belakang dan memasuki sebuah kelas, mendadak yang tadi ku dengar riuh sekali keadaan di dalam kelas tersebut, namun begitu aku masuk sontak semuanya terdiam. Setelah Bu Wiwin menyimpan tas, beliau mempersilahkanku untuk memberikan salam perkenalan.
“Nama saya Wanda Kartika saya pindahan dari Kudus.” Yah namanya dari Kudus, logat kejawen ku masih ku bawa-bawa. Banyak yang menatap sadis ke arahku bahkan ada juga yang tersenyum kecil. Setelah itu aku dipersilahkan duduk di bangku yang kosong, dan tak ada teman sebangku sama sekali tak ada. Aduh, nasib… nasib, malang sekali ya nasib ku. Banyak yang enggan bertegur sapa denganku hingga aku memilih selama satu tahun kulewati waktu-waktuku bergulat dengan buku-buku di perpustakaan, itu sebelum aku mendapatkan seorang teman, dan setelah aku sudah duduk di kelas tiga SMP baru akhirnya aku mendapatkan teman juga, setelah itu aku jarang pergi ke perpustakaan lagi, dan jarang lagi curhat dengan Fina melalui pesan singkat. Mungkin Tuhan selalu sayang padaku. Hari-hari yang ku lewati sebelum aku menemui seorang teman, kurasa teramat kelam. Lha wong namanya juga adaptasi, ya sulit sekali, apalagi ini menyangkut suku, iya! suku sunda dan suku jawa. Namun akhirnya Aku bisa juga melewati adaptasi mengerikan itu dengan senyuman penuh ikhlas demi Ibuku.
Aku usahakan selama satu tahun saat tak ada yang mau menemaniku, aku tak sama sekali bercerita pada Ibuku, Aku takut dia kecewa dan menambah lagi beban pikirannya, berkat doanya aku bisa melewati masa itu dan memulai hidup yang benar-benar baru di Cianjur.
Suatu hari dimana ku harap hari itu tak ada, dan ku harap waktu bisa berputar sesuai yang kuhendaki namun apa daya Tuhan lah yang berkuasa. Saat itu aku berada di dapur membuat masakan untuk makan malam, dan Ibu merehatkan tubuhnya yang mulai lemah di kasur kamarnya.
“Tok.. tok.. tok…” itu suara pintu rumah diketuk oleh seseorang.
Pertama ketukannya masih terdengar sopan tapi lama-lama nada ketukannya semakin arogan saja, dan membuatku geram. Namun belum sempat aku tinggalkan dapur, aku dengar ibuku melangkah membukakan pintu.
“Heh, lama sekali buka pintunya!” gertakan suara itu membuatku kaget sesaat setelah suara pintu kudengar dibuka oleh Ibuku. Aku khawatir, lantas saja aku berlari menuju pintu itu, dan benar saja belum sempat aku melindungi Ibuku, Dia dengan penuh amarah memukul Ibuku tanpa iba.
“Astagfirullah pak, jangan siksa ibu lagi pak.” Ucap Ibu meminta ampunan.
“Astagfirullah bu, Ibu nggak papa kan? Ayo bu kita pergi bu, ayo cepat!” Aku meronta meminta ibu untuk segera bangkit dari ketidak berdayaannya, namun apa daya belum sempat lari dari orang itu aku terkena pukulan keras tangannya. “Ya Allah, Pak!” Teriak Ibuku melindungiku, aku dipukul keras olehnya, dan yang terparah adalah ibuku, Aku menangis histeris melihat ibuku disiksa sedemikian rupa olehnya, Ibu sampai tak ada daya untuk bangun.
Dia yang memukulku dan ibuku adalah bapakku, Iya bapakku. Aku benci bapakku yang tiba-tiba datang marah-marah karena urusan sepele. Setelah dia puas kami berdua terjatuh dan tak bisa melawannya lagi, dia pergi lari entah kemana lagi. Beruntung kakak bapakku yang rumahnya tak jauh dari tempat tinggalku, datang menolong. Aku masih menangis tersedu namun tidak dengan beliau, dia menangis semestinya tak terlalu berlebihan sepertiku. Makhluk sempurna yang aku temui di dunia ini. Ibu.. Ibu dan Ibu.
“Bu, kenapa saat itu, ibu memilih rujuk lagi dengan orang itu bu? aku sedih melihat ibu seperti ini bu.” Ucapku sambil memegangi tangan ibuku yang badannya terkapar lemah di kasurnya.
“Ini demi kalian nduk! Supaya ada orang yang bisa menafkahi kalian nduk.” Ucap beliau dengan lemahnya.
Kejadian itu tak satu dua kali, tapi berkali-kali namun yang terparah adalah malam itu. Aku sampai lelah menangis di samping tempat tidur beliau, dan kini kurasakan air mataku berhenti mengalir dan hanya sanggup ku keluarkan senggukan sedih saja.
Pamanku mengobati memar-memar di tubuh ibuku dengan obat seadanya. Aku mulai lega setelah ibuku bisa tertidur dengan pulasnya. Beliau sempat bercerita kepadaku. Bapakku datang marah-marah karena, istri barunya yang merupakan sahabat baik Ibuku itu banyak berhutang sana-sini dan itu membuat bapakku kelimpungan. Mungkin itulah takdir, Allah tak pernah salah mengadili hambanya. Setelah manis yang bapakku lewati dengan selingkuhannya itu, akhirnya bencana datang jua. Tapi aku begitu heran mengapa harus kembali lagi menuju rumah hati ibuku, yang sudah jelas terkunci rapat untuknya.
Aku lelah Tuhan. Aku ambil air wudlu di tengah malam itu. Aku berdzikir di bawah lindungan-Nya ku tunaikan sholat malam, agar memperoleh ketenangan dari-Nya untuk keluargaku.
Pagi harinya di hari Senin itu, aku masih ingat aku memilih izin sekolah demi menjaga ibuku di rumah. Dan sampai detik itu, tiap aku melihat ibuku berbaring tidur di kasurnya, aku selalu saja menitihkan air mata. Aku hampir lupa untuk mengabari Mas Amdar, Aku menghubungi abangku itu, dan harap-harap cemas takut mengganggu kerjanya. Aku mengirimkan berita duka itu melalui pesan singkat, karena takut mengganggunya. Lalu setelah siang harinya dia baru bisa menelphon ku.
“Nduk? Sekarang gimana keadaan ibu? Ndak papa kan? Udah di bawa ke rumah sakit belum nduk?” Terdengar jelas Mas Amdar khawatir.
“Ibu ndak mau di bawa ke rumah sakit Mas.”
“tapi lukanya ndak parah to?” tanyanya masih khawatir
“Ndak papa Mas, Ibu sekarang lagi tidur pulas kok Mas.” Aku mengatakan kalimat itu dengan tangisan menyusulnya, yang tiba-tiba muncul lagi.
“Udah nduk, mbok jangan nangis. Nanti kalau kamu nangis Ibu pasti sedih. Mas juga jadi nggak tenang.”
“maaf ya Mas. Ndak bisa jaga Ibu.”
“Iyo nduk, maafin mas juga ya, Mas sekarang berada jauh dari kalian. Sing ati-ati yo nduk” Masih begitu khawatirnya Mas Amdar mendengar isakan tangisku.
“Iyo Mas, pokoknya kalau orang itu datang minta maaf, ndak bakal ku terima.”
“Iyo nduk, Bapak itu sudah kehilangan nalarnya, tetap jaga Ibu yo nduk?”
“Iyo Mas.”
“Maafin Mas yo, Mas harus kerja lagi ni nduk.”
“Ya sudah kalau begitu doakan keselamatan kami aja ya mas disini?”
“Iya nduk. Ya sudah, Wasalamu’alaikum nduk?”
“Wa’alaikumsalam Mas.”
Beruntung masih begitu banyak orang menyayangi aku dan Ibu. Paman dan Bibi masih berada terus di pihak kami itu terbukti saat malam itu, jika tak ada mereka pasti aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tak bisa di pungkiri inilah takdir yang selalu membuatku sedih berkepanjangan. Berkali-kali dia menyakiti hati Ibu, Aku, dan Mas Amdar. Namun tak kunjung juga dia bertobat.
Aku tak mau berlarut-larut di kesedihan itu, akhirnya setelah dua hari menjaga ibu sampai lumayan pulih, aku baru bisa tenang meninggalkan Ibuku di rumah agar aku bisa bersekolah dan menimba ilmu demi muara tanpa batas yaitu Ibu.. Ibu dan Ibu.
Aku lega akhirnya Ibu sudah bisa menggerakkan tangannya yang terpukul oleh orang itu sampai terluka parah. Aku tahu persis, bukan sakit itu yang membebaninya, tapi beban psikislah yang membuat Ibu enggan bisa membiarkan tubuhnya sehat. Kami enggan melaporkan kejadian itu kepada pihak yang berwajib, Kata Ibu, dia tak sanggup bila bapak masuk ke dalam bui kesengsaraan. Mulia sekali hati beliau ya Allah.
“Ibu.. aku sekolah dulu ya. Bibi sudah ku suruh untuk menjaga Ibu, Aku harus sekolah demi Ibu. Doakan anakmu ini ya bu?”
“Iya nduk.. ibu do’akan semoga kamu sukses. AMIN. Oya nduk? Sudah makan?” Beliau berkata masih dan tetap di kasurnya.
Aku lalu menghampirinya dengan tatapan ibaku yang sangat miris, Tak habis pikir, kenapa makhluk ini bisa begitu kuatnya ya Allah?
“justru ibu yang harus cepat-cepat makan, nanti biar aku suruh bibi menyuapi ibu ya, aku harus segera pergi ke sekolah. Aku pamit ya bu?” Aku cium tangan dan keningnya, tak ku rasa air mataku meniti lagi, uh aku sebal kenapa begitu lemahnya diriku ini. Aku langsung beranjak pergi ke rumah Bibi, dan menitipkan Ibu ku. Karena aku khawatir, aku sampai mengawasi Bibi untuk memastikan dia masuk ke kamar Ibu ku. Baru aku bisa lega saat itu aku langkahkan kaki dengan gontai menuju sekolah. Inilah mengapa aku sangat sedih saat harus meninggalkan Kudus, Mulanya aku menyuruh Ibuku lah yang harusnya pindah dan tinggal di Kudus, tapi aku kalah dan harus menurutinya. Mungkin pilihannya benar. Aku selalu yakin pilihannya selalu benar.
Aku memang lemah, tapi tak selemah yang orang itu bayangkan, aku yakin aku kuat. Setelah pulang sekolah aku langsung bergegas menuju kamar Ibuku. Aku ketakutan. Tapi saat ku lihat ibuku tertidur pulas dengan napasnya yang masih menghela, aku jadi begitu lega. Namun setelah aku hadir di kamarnya, tak sengaja aku membangunkan beliau, dan beliau langsung bertanya kepadaku tentang sekolahku bagaimana? Aku menjawab dengan senyuman menandakan sekolahku baik-baik saja. Mas Amdar semenjak ku hubungi saat itu jadi sering sekali bertanya kabar Ibu. Hingga dia juga lega saat Ibu berbicara dengan Mas Amdar, agar tidak mengkhawatirkannya lagi. Perlahan melupakan kejadian itu, Aku dan Ibu ku berbincang tentang hal-hal yang membuat kami tertawa bersama sampai lupa. Tapi Seseorang datang mengetuk pintu. Kali ini aku yang membukanya.
“Mau cari siapa ya pak?” tanyaku heran dengan seseorang berbaju orange dan helmnya berwarna orange serta motornya pun orange, tidak lain itu adalah tukang pos.
“Apa benar ini rumah Ibu Sulistyowati?” Tanyanya dengan ramah.
“Iya betul pak. Saya sendiri adalah anaknya” Jawabku datar.
“Ini ada surat untuk Ibu, bisa adik terima?”
“Tentu pak.”
Bapak itu menyodorkan surat pernyataan perintah kirim untuk ku tanda tangani. Lalu tukang pos tersebut memberikan sepucuk surat untukku.
“Terimakasih dik?”
“Sama-sama Pak.”
Lalu tukang pos itu pergi dengan motornya. Dan meninggalkan tanya dengan surat itu. Surat dengan amplop bewarna putih, tertulis di atasnya si pengirim adalah nama bapak ku dengan tinta merah. Aku sangat alergi sekarang, saat membaca, apalagi mendengar nama bapakku. Aku bawa surat itu menuju kamar ibuku sambil bergumam.
“dia sepertinya ndak punya tinta lain. Betapa tak sopannya etikannya, ini sama saja menantang.”
“Siapa nduk?” Tanya Ibu yang mendengar langkah kaki ku yang melangkah menuju kamarnya.
“Ini Bu, dari orang itu. Baiknya surat ini jangan dibaca bu. Paling-paling permintaan maaf.” Hasutku kepada Ibu.
“Sepertinya baiknya begitu ya nduk. Ibu lagi pengen tenang.”
Aku taruh surat itu di meja ruang tamu, ku biarkan dia tergolek disana. Begitu lama sampai berhari-hari surat itu tak ada yang membaca. Sampai Ibu ku sehat bugar dan bisa beraktifitas kembali, surat itu masih diam membisu disana. Sampai pada suatu hari Paman ku datang membawa berita.
“Lis. Suamimu katanya masuk penjara.” Ucap Paman membuat Ibu kaget.
“Astagfirullah. Coba kamu baca surat itu.” suruh Ibuku menujukkan surat itu.
Paman ku mengernyitkan dahinya, sepertinya terkejut dengan isi surat itu, Ibu dan Aku masih tak sudi membaca surat itu, hanya Pamanlah yang membacanya. Ternyata surat itu Bapak kirim sehari sebelum dia di tahan polisi. Kata paman ku, bapak mencuri motor sehingga harus ditahan, dan kata pamanku berdasarkan surat itu, bapakku meminta maaf pada Ibu, Aku, dan Mas Amdar. Ibu ku menitihkan air mata.
“Ya Allah, sampaikan padanya bahwa aku dan anak-anak ku ikhlas memaafkannya ya Allah.”
Aku tak bisa apa-apa, hanya Ibu yang berbesar hati memaafkan orang itu. Dan aku masih tetap pada pendirianku, enggan memberi maaf pada orang itu. Semoga saja suatu saat aku bisa memaafkannya. Tuhan selalu benar pada takdirnya.
Aku putuskan setelah aku lulus SMP, aku ingin Ibu membawaku untuk pindah ke tempat yang tak mungkin diketahui orang itu lagi. Aku juga sudah meminta kepada Mas Amdar agar bisa mencarikan hunian jauh dari kehidupan sebelumnya. Aku takut jika orang itu kembali mencari kami. Ya! Bapak ku tetap bapakku. Tapi hatiku belum bisa memaafkanmu pak. Semoga suatu hari di kala Allah mengizinkan, aku ingin aku bisa ikhlas memaafkanmu pak. Amin.
- Selesai -
Cerpen Karangan: Audhina Novia Silfi
Blog: http://theizuzeus.wordpress.com/

cerpenmu.com/

Tidak ada komentar:

To Top Page Up Page Down To Bottom Auto Scroll Stop Scroll