thanks for visiting,come back soon for more:)

Kamis, 27 Februari 2014

Violet Magenta

Violet magenta. Betapa anganku terpenjara olehnya. Serupa lembayung langit mengurung cakrawala. Serupa alga-alga melukis kebiruan samudera.
Di depan sana, warna itu mengelana. Sore bergelora. Pada geligir pasir. Pada geladak ombak. Pada laju perahu. Itulah panorama dari muka gubukku. Ah, bukan, ini gubuk simbah kakung. Gubuk anyam, atap genting lubang-lubang, dinding doyong dihembus topan. Yang tiap-tiap waktu bercengkerama bersamaku di kursi kayu. Kami hanya berdua. Bapak-ibu barangkali merantau, entah ke mana.

“Mbah, apa aku boleh main ke laut?” ujarku pelan, membujuknya memahami ricuh kalbuku. Aku gandrung violet magenta. Sungguh.
“Ndak (1) usahlah, Bayu. Sekarang pantai sangat ndak ramah.”
“Kenapa memang? Aku rindu kebiruan itu. Aku muak! Pantai direbut orang telanjang, warung es degan dibongkar, perahu barang mengusir nelayan, ocehan truk merintis pelabuhan, klakson mobil merubung hotel, kafe-kafe serabutan, restoran ikan elit mengejek selera makan. Simbah ndak kepengin berlalu dari kebisingan ini?”
“Peduli apa? Kata koran, inilah globalisasi! Jadi wajar-wajar saja, Le. Semua untuk satu. Satu untuk semua.” enteng ujarnya sambil membenahi seragam kleniknya. Ia lalu tertawa kecil. Tawa yang ganjil. Dan kalung jimat ungu tuanya berayun-ayun.
Begitulah. Betapapun pelik pikiranku, beliau takkan menyelami. Aku muak! Globalisasi gila! Kata itu mengirim segala reriuh jelanak kota ke tiap butir pasir pesisir. Dan laut sekedar menyisakan damai nan getir. Mendadak kepalaku tertindih. Berat. Mataku berkunang-kunang. Buram. Cahaya kecil melintas. Ringkas.

Seorang perempuan menjelma. Si wajah jelita. Kuning langsat kulitnya. Tahi lalat mungil di kiri bibir. Rambut disanggul. Tubuh luwes nan harum bestari. Busana kebaya magenta. Selendang violet tersampir sempurna. Lingkar mata penuh rona. Menanggalkanku beribu tanya.
“Aku Nimas. Aku sahabat lamamu, Bayu. Bahkan sahabatmu satu-satunya. Dulu kita sering main ke laut bersama.” ujarnya serak kalem.
“Ya! Ya! Aku ingat! Mengapa kamu ndak pernah menemuiku lagi?”
“Maaf. Baru-baru ini tempat tinggalku jauh sekali.”
Aku tak mengerti. Tiba-tiba hening malam bersua. Di manakah kami? Reronta ombak. Desis buih. Teriakan karang terhempas. Liar angin darat. Bulan b*gil bulat.
“Bukankah aku tinggal di pantai ini?”
“Ya. Izinkan aku membantumu menziarahi kenanganmu sendiri.”
“Apakah aku melupakan suatu hal dalam hidupku?”
Ia buru-buru menyeretku ke balik rerimbun batang kelapa. Mata kami mencuri. Tak ada sesiapa. Kecuali kemlerit sepasang obor bagai kunang-kunang memendarkan lentera. Sayup-sayup gendhing gamelan menembang nada. Remang “Ladrang Mugi Rahayu” menggema. Semerbak harum bebunga. Gadis-gadis penari berlenggak-lenggok bak nyiur janur. Diikuti dua banjar lelaki berblangkon, bersama keris terselip di beskapnya. Dan para wanita pemangkul sesaji berbaju putih bersih.
“Siapakah rombongan paling belakang? Mengapa busana mereka berbeda? Mereka nampak begitu semarak.”
“Mereka adalah Pak Bupati, Pak Wakil Bupati, Pak Camat, Pak Sekda, Pak Sekcam beserta istri masing-masing. Pak Lurah dan istri pun turut serta. Semoga kau masih mengenal keduanya.” kata-katanya membuatku curiga. Siapa mereka? Kian lekat arakan itu kulihat. Kedua orang itu! Ada hentakan di batinku. Bapak? Ibu?

Mataku mengeriyap. Seonggok kayu tua tergeletak. Darahku menyimbah. Mbah Kakung membayang. Segelas air azimat bening ditenggakkannya padaku.
“Untunglah kamu sadar, Le. Tadi kepalamu tertimpa kayu. Kerangka atap itu sudah sangat rapuh. Rawan ambruk.” ucap Mbah Kakung bersama mata berkaca-kaca.
“Ini gara-gara klenik Mbah Kakung ditinggal orang-orang! Sekarang penghuni pantai tak lain hanyalah manusia-manusia sok pintar! Kita dijajah, Mbah! Dijajah! Kita jadi miskin! Aku putus sekolah! Rumah simbah tercacah-cacah! Andai saja bapak dan ibu kembali, nasib kita takkan begini!”
Sesal mengabut di wajahnya. Mendadak kepalaku terdera-dera lagi. Pandanganku mengambang kelam. Cahaya kecil melintas. Ringkas.

Aku kembali pada malam itu. Juga Nimas. Kami mengendap-endap. Ke selatan arakan berkiblat. Biru langit dan laut suram memekat. Peritual berbaju hitam, kepala berbelikat, betapa khidmat membingkai seremonial. Segera kirab ditunaikan. Kepala kambing beserta ingkung ayam. Tumpeng-tumpeng disongsong ke depan. Urap-urap sayur (3) disunggi di nampan. Jajanan pasar (4) disusulkan. Dupa menyala. Kembang tujuh rupa menebar aroma. Bubur merah (5) di tampah ditata membujur ke empat arah.
Rombongan pejabat, tak terkecuali bapak-ibuku, bergilir menumpang perahu. Mereka arungkan seluruh sesaji. Entah ke mana. Nimas hanya diam. Apa yang ia tunjukkan lewat peristiwa ini? Aku segan menanyakannya sebagaimana ia bersikeras menahan jawaban. Lambat laun ombak meminang tahun baru Jawa. Sang peritual tua kian intim mencecapkan mantra.
“Mereka menuju pangkal teluk di antara dua kaki tebing itu.”
“Bukankah memang begitu semestinya?”
“Bukan! Ini bukan cara yang wajar!”
Perahu kembali. Sementara rombongan lain berarak pulang. Satu per satu pejabat turun. Semuanya. O, tak semua! Tidak! Mereka tos. Mereka tertawa puas. Mereka bergembira! Di mana bapak? Di mana ibu? Pikiranku mobrat-mabrit.
“Berhasil, Mbah! Kita berhasil! Hahaha….!”
“Ide Mbah pancen ampuh!”
“Sebentar lagi kita kecipratan milyaran duit proyek. Profitnya pasti bikin rakyat makmur. Eh, maksudku, kantong kita yang makin gembur! Bener to, Mbah? Hehehe…!”
Mereka berkumpul. Suara-suara girang bergumul. Pejabat silih berganti bermimpi nakal. Sang pemimpin ritual dipuja-puja. Orang sialan itu mengangguk-angguk jemawa. Sayang tak tampak mukanya. Siapa dia? Aku tertegun. Geram.
“Rupanya sang peritual tua! Dasar otak bengis! Mengapa bapak-ibuku ia tenggelamkan? Apa salah keduanya? Jawablah! Percuma saja diam, Nimas! Kamu senang membiarkanku buta pada masa laluku sendiri?”
Wajahnya mengingsut. Tak berucap. Tapi sekejap kami beralih. Derum kapal diesel. Kendaraan langka bin ajaib itu merapat ke pantai. Orang tambun, rambut pirang, jas hitam, topi nyentrik belang, kacamata gelap, cerutu milenium, lagaknya mirip bintang filem di tivi-tivi. Nampaknya ia bukan warga sini. Bule, kata orang-orang. Ia berjalan sempoyongan nimbrung persekongkolan. Mbah peritual tunduk hormat.
“Semuanya beres, Mister! Lurah gambles (6) – si tameng proyek itu sudah modar (7) dikunyah ombak! Nelayan pengekornya telah mengeruk kubur mereka sendiri di samudera!” mulut besar peritual itu menggeliat.
“Kerja bagus, ledis en jentelmen. Perfecto! Akulah satu-satunya penguasa pantai! Akulah yang berhak menyetir takdir pesisir! Kunamai dengan gelar agungku. Violet John Magenta Beach. Akan kubangun surga-surga dunia! Kolega-kolega mancanegaraku takkan segan kuperas pelan-pelan. Kini giliran uangku mengabdi pada perut-perut wargamu. Atau mungkin lebih aman, kalian simpan di kantong sendiri.”
O! Persekongkolan tertawa. Entah bagaimana, Si Mister fasih berbahasa Indonesia. Violet magenta. Milik bule edan itu ternyata!
“Bapak-ibumu mengutuk gelagat maha rencana Mister John. Bagi mereka, pantai kian aduhai ketika ia semakin apa adanya. Meski akhirnya, peritual itu berhasil menghasut Pak Bupati, Pak Wakil Bupati, Pak Camat, Pak Sekda dan Pak Sekcam. Itulah mengapa orangtuamu dijuluki ‘tameng proyek’ sehingga mereka musti dihabisi. Kamu mengerti, Bayu?” gamblang Nimas sendu.
“Siapa peritual tua picik itu? Dasar teri gemblung sok mepet-mepet hiu!”
Nimas menunduk diam. Ah, mengapa? Matanya basah. Pipinya basah.
“Peritual itu simbah kakungku. Mulanya ia sangat menyayangiku. Tapi tiba-tiba saja ia berubah tak pasti. Ia tak menjadi dirinya sendiri.”
“Bodoh! Mengapa kamu ndak segera mencegahnya, ha?”
“Itu mustahil! Ini hanya kenangan!”
Aku tergagap! Kudengar gelegar letupan. Nimas pingsan. Kusangga tubuhnya. Pelipisnya merah. Merah berdarah! Darah membasuh air matanya. Matanya memejam tenang perlahan. Peluru menikam kepalanya. Aku kalut. Aku tak kuat hati. Nafasku menggeletar. Ajal mengajaknya ke kejauhan.
Persekongkolan memergoki kami. Mister John menggegap pistol kecil di celana. Sejurus kemudian, sebutir peluru melubangi ubun-ubunku. Penglihatanku meremang. Bayang-bayang seseorang lamat mendekat. Lelaki renta. Berbelikat kepala. Berbaju klenik hitam. Dan kalung jimat ungu tua. Ah! Wajah itu! Tak mungkin! Tak mungkin!

Aku tergeragap. Jingga petang meraba mata. Apa aku baru saja bermimpi? Ataukah menjumpai masa laluku sendiri? Maka itu akan sungguh menyakitiku. Lelaki tua itu menatapku sambil tersenyum lega. Atau pura-pura lega.
“Siapa Mbah Kakung sebenarnya?” tanyaku sedikit menggertak. Ia hanya menunduk. Bisu.
“Apa Mbah Kakung ada di Malam Satu Suro itu? Sebagai dukun ritual?” gertakku kian keras kini. Lagi-lagi, ia tutup mulut. Aku tahu ia hendak mengaku.
“Sejak kepalamu disarangi peluru, kamu ndak ingat apa-apa. Betapa mujur. Kamu masih hidup karena tolak bala bapak-ibumu, mendiang Pak Lurah – Bu Lurah. Lalu aku membopongmu. Berharap kamu segera menuntaskan hidupku. Sebab umurku sudah ndak berguna lagi, Le.”
“Itu karma Mbah sendiri! Mengapa Mbah membunuh orangtuaku? Memang aku sudah merelakannya, tetapi jalan kepergian mereka sangat ndak sebanding! Mengapa Mbah menghabisi nyawa orang yang membela hidup kita?”
“Seiring datangnya seorang pahlawan, segelintir pengkhianat bersiap menyusup ke balik punggungnya, Le. Aku pengkhianat yang terjarah. Bule gila itu mengancamku. Jika aku ndak melakukannya, maka nyawa cucuku jadi sandera. Tapi Si Mister Gendheng (8) bermulut buaya. Meski proyek sintingnya mulus tanpa noda, Nimas tetap saja mati. Baginya kepolosan bocah kampung tak ubahnya todongan pisau di urat lehernya. Tinggal kamu, Bayu. Kamu yang mengerti peristiwa itu. Balaskan nyawa Nimas! Ubahlah nasib pesisir! Gantilah menggugat! Gantikan tulang punggung bapak-ibumu!” dadaku kian gemertapan. Pikiranku berkelindan. Memaki. Mencacat. Menyuruhku mendiamkan masa lalu. Kukepalkan tangan. Dukaku berperang.
“Kalau begitu, segera kita bereskan kebisingan pesisir ini!”
“Aku renta dan ndak berguna, Le. Pakailah jimat ungu tuaku sebagai tolak balamu.” katanya sambil mengalungkanku benda itu.
“DOR…! DOR…! DOR…!” debam tembakan tiba-tiba berdenyar-denyar.
Mbah kakung roboh. Keningnya terluka. Darah melukis merah di tanah.
Aku tergeragap. Aku tak mampu berpikir runtut. Tiada pertolongan. Kecuali orang tambun di antara pohon kelapa. Rambutnya pirang, berjas hitam, bertopi belang, kacamata gelap, mengisap cerutu milenium.
“Dukun dungu! Aji-ajimu tak mempan! Ilmumu omong kosong! Semakin banyak wisatawanku hilang tenggelam. Aku musti bayar nyawa! Aku ditodong asuransi! Aku rugi! Aku pailit!” hujat orang itu pada jasad simbah yang tak bersukma.
Sekejap Si Mister berganti membidikkan selongsong peluru ke arahku.
*)
1. Ndak berarti tak.
2. Tumpeng adalah nasi kuning yang disusun mengerucut.
3. Urap-urap sayur merupakan sayur-sayuran sebagai simbol kebersamaan.
4. Jajanan pasar yaitu beragam makanan tradisional pasar sebagai simbol ketelatenan
5. Bubur merah ialah salah satu hidangan sesaji terdiri dari bubur beras merah, ketan hitam-putih, bubur jagung, dan kacang hijau sebagai wujud empat elemen bumi.
6. Gambles berarti sialan.
7. Modar adalah sinonim kasar “mati”.
8. Gendheng yaitu tak waras atau gila.
Cerpen Karangan: Haryas Subyantara Wicaksana
Facebook: Haryas Fito
seorang siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 1 Pacitan

Tidak ada komentar:

To Top Page Up Page Down To Bottom Auto Scroll Stop Scroll